SAIBETIK– Rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung yang akan mengucurkan dana hibah fantastis sebesar Rp60 miliar untuk pembangunan gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung memicu perdebatan sengit di kalangan akademisi dan masyarakat. Anggaran dalam jumlah besar ini dianggap tidak mendesak dan patut dikaji ulang dari sisi prioritas pembangunan daerah.
Satrya Surya Pratama, akademisi Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai (Saburai), menekankan bahwa pengelolaan keuangan daerah harus mengikuti prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas. Menurutnya, alokasi sebesar itu harus dievaluasi secara menyeluruh agar kebijakan publik tidak sekadar formalitas administratif, tetapi benar-benar membawa manfaat bagi warga Bandar Lampung.
“Pengelolaan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Hibah sebesar Rp60 miliar untuk gedung Kejati ini perlu ditinjau ulang apakah sejalan dengan kebutuhan masyarakat atau sekadar proyek monumental yang tidak menyentuh kepentingan publik,” ujar Satrya, Senin (13/10/2025).
Satrya menegaskan, evaluasi kebijakan publik merupakan langkah krusial sebelum penetapan anggaran dalam jumlah besar. Proses ini memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah daerah benar-benar berdampak positif dan tepat sasaran. Tanpa evaluasi yang matang, risiko anggaran terserap untuk tujuan yang kurang prioritas semakin besar.
Lebih lanjut, Satrya menyoroti bahwa penggunaan anggaran harus sejalan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang menekankan pelaksanaan keuangan negara secara terbuka dan bertanggung jawab demi kemakmuran rakyat. Ia menegaskan, pembangunan fasilitas untuk lembaga vertikal seperti Kejati seharusnya didanai oleh pemerintah pusat, bukan membebani APBD daerah.
“Kebijakan semacam ini bisa menimbulkan persepsi bahwa pemerintah daerah mengabaikan kepentingan rakyat kecil. Prioritas seharusnya pada sektor yang langsung menyentuh kesejahteraan masyarakat, seperti ketahanan pangan, pendidikan, dan pelayanan publik,” tegas Satrya.
Satrya juga mengingatkan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 dan Inpres Nomor 2 Tahun 2025 yang menekankan pentingnya efisiensi, ketepatan sasaran, serta prioritas pada swasembada pangan dan pengentasan kemiskinan. Menurutnya, arahan ini seharusnya menjadi panduan bagi pemerintah daerah dalam menentukan program hibah.
“Dengan dua instruksi presiden tersebut, setiap program hibah harus diukur manfaatnya. Sebaiknya anggaran dialihkan untuk program yang mendukung ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, dan peningkatan kualitas layanan publik, daripada untuk pembangunan gedung lembaga vertikal,” jelasnya.
Pengamat kebijakan publik lainnya, Dwi Handoko, menambahkan bahwa rencana hibah ini berpotensi menimbulkan kontroversi di masyarakat. Ia menyarankan agar Pemkot Bandar Lampung melakukan kajian publik dan membuka forum diskusi dengan masyarakat sebelum keputusan akhir diambil.
“Transparansi dan partisipasi publik sangat penting. Jika masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, ada risiko munculnya kritik yang bisa mengganggu citra pemerintah daerah,” kata Dwi.
Sementara itu, Pemkot Bandar Lampung belum memberikan pernyataan resmi terkait tanggapan akademisi. Namun, rencana hibah ini diprediksi akan menjadi sorotan tajam dalam beberapa minggu ke depan, khususnya di media sosial dan forum-forum publik.
Dengan begitu, keputusan Pemkot Bandar Lampung dalam mengalokasikan Rp60 miliar untuk Kejati menjadi perbincangan hangat: apakah ini langkah strategis ataukah alokasi yang terlalu jauh dari kebutuhan masyarakat?***