SAIBETIK – Partai Gerindra di Provinsi Lampung tengah menghadapi badai kritik setelah sederet persoalan aset negara dan pelanggaran regulasi mencuat ke permukaan. Sosok Rahmat Mirzani Djausal (RMD), kader Gerindra sekaligus Gubernur Muda yang selama ini dikenal dekat dengan publik, dinilai gagal menunjukkan pengaruh politiknya untuk menjaga aset daerah sesuai peraturan yang telah disahkan dan ditandatangani Presiden serta para menteri terkait.
Sorotan publik menguat setelah dugaan pelanggaran terjadi di Kota Bandar Lampung. Wali Kota yang dijuluki “The Killer Policy” dituding nekat mendirikan SMA swasta bernama Siger tanpa legalitas yang jelas. Praktisi hukum menyebut langkah ini melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada 8 Juli, serta menabrak Permendagri Nomor 7 Tahun 2024 tentang pengelolaan aset daerah. Parahnya, gedung yang dipakai diduga milik SMP Negeri yang dipinjam-pakaikan atau bahkan disewakan secara tidak sah.
Praktisi hukum Hendri Adriansyah, SH, MH, menegaskan pada Jumat, 13 September 2025, bahwa tindakan tersebut berpotensi masuk ranah pidana. “Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ada indikasi penggelapan aset negara dan penadahan barang hasil penggelapan pemerintah. BPKAD, kepala sekolah, dan pengelola yayasan bisa dijerat hukum karena pelaksanaan kegiatan tanpa payung hukum,” ujarnya.
Tim redaksi yang berupaya meminta klarifikasi ke Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) menemui jalan buntu. Saat mendatangi kantor BPKAD, pejabat yang berwenang tidak berada di tempat, sementara staf administrasi bidang aset menyebut belum ada berkas resmi pinjam pakai atau sewa gedung yang diajukan oleh yayasan Siger. Hingga artikel ini diterbitkan, pihak BPKAD belum memberikan tanggapan resmi.
Redaksi juga menghubungi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Bandar Lampung untuk meminta penjelasan mengenai izin penggunaan gedung beserta perabot sekolah. Kabid Dikdas Disdikbud, Mulyadi Sukri, pada Jumat, 9 September 2025, mengklaim bahwa izin pinjam pakai atau sewa sudah ada, namun hingga kini tidak dapat menunjukkan dokumen administrasi sebagaimana diatur dalam Permendagri yang berlaku. Ketidakjelasan ini menambah panjang daftar pertanyaan publik tentang legalitas operasional SMA swasta tersebut.
Kritik tajam pun mengarah ke Gerindra dan RMD. Rahmat Mirzani Djausal dinilai tidak tegas dalam mengawal aset negara dan regulasi pendidikan, meski posisinya sebagai Gubernur memberikan kewenangan penuh mengawasi dan membina pendidikan menengah atas. Hubungan politik antara Wali Kota Bandar Lampung dan Partai Gerindra pada Pilkada 2024 semakin memanaskan isu ini, menimbulkan kesan bahwa partai dan pemimpinnya menutup mata terhadap pelanggaran aturan.
Tak hanya soal SMA ilegal, publik Lampung juga dikejutkan oleh beredarnya informasi mengenai penjualan aset negara oleh PT Wahana Raharja, BUMD milik Pemerintah Provinsi Lampung. Perusahaan yang dikabarkan mengalami krisis keuangan sejak 2018 itu kini berada di bawah kendali pemerintahan RMD. Namun hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari sang Gubernur terkait dasar hukum penjualan aset tersebut, menimbulkan kekhawatiran soal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan BUMD.
Hendri Adriansyah menilai, jika benar terjadi penjualan aset tanpa prosedur yang sah, tindakan Pemerintah Provinsi Lampung dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum dalam perspektif administrasi negara. Hal ini mencakup potensi kerugian masyarakat, inkonsistensi regulasi, hingga penyimpangan dari asas-asas umum pemerintahan yang baik. “Tanpa ketegasan dan kepatuhan terhadap aturan, citra pemimpin akan tercoreng, dan kepercayaan publik sulit dipulihkan,” tegasnya.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana Gerindra Lampung dan RMD siap menegakkan hukum yang mereka sendiri kampanyekan? Publik menunggu jawaban jelas dan langkah konkret untuk mengembalikan kepercayaan terhadap pemerintah daerah. Transparansi, audit independen, dan penegakan sanksi hukum disebut sebagai langkah mendesak agar polemik ini tidak semakin merusak citra kepemimpinan daerah.***