SAIBETIK – Isu pendidikan di Lampung kembali memanas dengan munculnya kontroversi seputar SMA Swasta bernama Siger. Stakeholder pendidikan swasta menyoroti tindakan dua tokoh Gerindra Lampung yang diduga mendukung pembangunan dan operasional sekolah ilegal ini, meski jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang telah ditandatangani Presiden ke-5, Megawati Soekarnoputri, pada 8 Juli.
Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, baru-baru ini terlihat bersebelahan dengan Megawati dalam forum nasional, menampilkan simbol politik yang seolah harmonis. Namun, di tingkat daerah, situasi berbeda. Rahmat Mirzani Djausal, Gubernur Lampung sekaligus Ketua DPD Gerindra Lampung, dan Bernas, Ketua DPRD Kota Bandar Lampung sekaligus Wakil Ketua DPD Gerindra Lampung, disebut secara terang-terangan mendukung upaya Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana—yang dikenal dengan sebutan The Killer Policy—dalam menyelenggarakan dan membangun SMA Siger.
Pendirian SMA ini memicu protes dari berbagai kalangan, karena operasional sekolah dan pembangunan gedungnya menggunakan APBD Pemkot Bandar Lampung tanpa izin resmi. Menurut para stakeholder pendidikan, langkah ini berpotensi menjerumuskan ketua yayasan, kepala sekolah, serta guru ke dalam jerat hukum pidana dengan ancaman penjara puluhan tahun dan denda miliaran rupiah.
Dukungan dua tokoh Gerindra Lampung terhadap SMA ilegal ini tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap konstitusi dan amanat Undang-Undang Pendidikan Nasional. “Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga ancaman serius terhadap integritas hukum dan keadilan pendidikan di Lampung,” ungkap salah satu narasumber yang enggan disebutkan namanya.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar bagi publik dan kader partai Gerindra sendiri: apakah Prabowo Subianto akan membiarkan kadernya melanggar hukum demi kepentingan politik lokal? Atau apakah Ketua Umum Gerindra akan menegakkan disiplin partai dan menindak tegas pelanggaran ini, sekaligus menunjukkan bahwa partai tidak tunduk pada politik transaksional yang mengabaikan konstitusi?
Kondisi ini memperlihatkan kontradiksi nyata antara simbol politik nasional dan praktik di daerah. Di panggung nasional, Prabowo tampak harmonis berdampingan dengan Megawati. Namun di Lampung, kader partainya justru diduga mendukung tindakan yang melanggar Undang-Undang, memperlihatkan jarak antara retorika politik nasional dan tindakan nyata di lapangan.
Kasus SMA Siger juga menjadi sorotan media dan stakeholder pendidikan, karena bukan hanya isu pendidikan semata, tetapi telah berubah menjadi bom waktu politik. Dukungan terhadap sekolah ilegal ini berpotensi memicu krisis kepercayaan publik terhadap partai politik dan pemerintah daerah, sekaligus membuka peluang konflik hukum dan politik yang lebih luas di masa mendatang.
Para pakar pendidikan dan hukum menekankan bahwa langkah membangun sekolah tanpa izin resmi tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan ketidakadilan bagi lembaga pendidikan resmi lainnya yang telah mengikuti prosedur legal. Dampaknya terhadap kualitas pendidikan di Lampung bisa signifikan, karena legitimasi pendidikan dan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pendidikan dapat menurun drastis.
Stakeholder pendidikan di Lampung kini menuntut tindakan tegas dari Prabowo Subianto selaku Ketua Umum Gerindra untuk menegakkan disiplin partai dan menghentikan dukungan terhadap praktik ilegal yang bisa merusak tatanan hukum dan pendidikan nasional. “Kasus ini bukan sekadar soal politik, tetapi tentang masa depan pendidikan dan penegakan hukum di Lampung. Gerindra harus menunjukkan sikap jelas: hukum dan konstitusi di atas kepentingan politik lokal,” tegas sumber tersebut.
Dengan berkembangnya isu ini, publik Lampung dan nasional terus mengamati langkah partai dan pemerintah daerah. SMA Siger menjadi simbol ketegangan antara kepentingan politik, hukum, dan pendidikan, dan jika tidak ditangani dengan tegas, potensi konflik sosial-politik semakin membesar.***