SAIBETIK— Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lampung (BEM Unila) kembali menegaskan desakan agar Polda Lampung segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan kekerasan yang terjadi dalam kegiatan Pendidikan Dasar (Diksar) Mahasiswa Pecinta Alam (MAHEPEL) Universitas Lampung. Pernyataan ini disampaikan melalui Menteri Koordinator Hukum, HAM, dan Demokrasi BEM Unila, Ghraito Arip, yang menekankan bahwa kasus ini bukan sekadar peristiwa tragis, melainkan persoalan hukum dan moral yang menuntut penanganan serius dan transparan.
Kasus dugaan kekerasan ini mulai mendapat sorotan publik setelah Polda Lampung menggelar konferensi pers pada 7 Oktober 2025, yang menyebutkan adanya indikasi kekerasan dan dimulainya proses penyidikan. Menurut BEM Unila, bukti awal yang telah dikumpulkan—mulai dari keterangan saksi, hasil ekshumasi, hingga barang bukti fisik—sudah cukup untuk menetapkan tersangka.
Ghraito Arip menjelaskan, sesuai Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, tersangka adalah orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Lebih lanjut, Pasal 184 KUHAP mengatur bahwa penetapan tersangka harus didukung minimal dua alat bukti sah, baik berupa keterangan saksi, surat, petunjuk, maupun keterangan ahli. Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 juga menegaskan bahwa penetapan tersangka dilakukan setelah proses penyidikan memperoleh bukti permulaan yang cukup melalui gelar perkara.
“Dengan dasar hukum yang jelas, kami menuntut agar Polda Lampung segera menetapkan tersangka agar proses hukum berjalan lebih transparan dan publik dapat mengetahui siapa yang bertanggung jawab secara pidana,” tegas Ghraito.
Selain menyoroti proses hukum, BEM Unila juga menekankan tanggung jawab Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unila sebagai pembina organisasi MAHEPEL. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, fakultas dan perguruan tinggi memiliki kewajiban memberikan izin, bimbingan, dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan mahasiswa, termasuk kegiatan ekstrakurikuler.
“Terjadinya kekerasan dalam kegiatan Diksar menunjukkan adanya kegagalan pengawasan akademik dan kelembagaan. Kami menuntut agar Dekan FEB Unila memberikan penjelasan terbuka mengenai mekanisme pengawasan yang dijalankan dan langkah-langkah yang diambil untuk mencegah kejadian serupa,” lanjut Ghraito.
BEM Unila juga menyerukan agar proses hukum kasus ini berlangsung adil, transparan, dan bebas dari intervensi pihak manapun. Selain itu, organisasi mahasiswa ini menekankan pentingnya menjadikan kasus ini sebagai momentum perubahan budaya kampus di Universitas Lampung. Menurut mereka, kampus harus menjadi ruang yang menjunjung tinggi dialog, integritas, keselamatan mahasiswa, serta nilai-nilai akademik yang etis.
“Kami berharap kasus ini tidak hanya berakhir pada penegakan hukum semata, tetapi juga memicu reformasi budaya kampus agar Universitas Lampung benar-benar menjadi lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan bertanggung jawab,” pungkas Ghraito.
BEM Unila menegaskan komitmennya untuk terus memantau perkembangan kasus ini dan siap bersinergi dengan aparat hukum serta pihak fakultas untuk memastikan keadilan bagi seluruh korban. Tekanan publik dan desakan mahasiswa diharapkan mendorong proses hukum berjalan cepat, transparan, dan memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan.***