SAIBETIK– Konflik agraria yang melibatkan PT Sugar Group Companies (SGC), perusahaan perkebunan tebu terbesar di Indonesia yang beroperasi di Lampung, kembali menjadi sorotan publik. SGC dituding menguasai lahan secara tidak adil, melebihi batas izin Hak Guna Usaha (HGU), serta menimbulkan dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat sekitar. Persoalan ini menjadi perhatian serius karena menyentuh hak-hak petani lokal dan keadilan akses lahan bagi rakyat.
Selain isu agraria, SGC juga terseret dalam dugaan kasus suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan pejabat Mahkamah Agung dengan nilai mencapai Rp50 miliar. Kasus ini kini tengah ditangani secara serius oleh Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menimbulkan tekanan publik agar aparat penegak hukum bertindak tegas dan transparan.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dinilai belum menunjukkan langkah konkret dalam menangani masalah ini. Lambannya penyelesaian konflik dianggap sebagai kegagalan negara dalam menjamin keadilan agraria, sekaligus memperburuk ketimpangan lahan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Ketidakpastian hukum terhadap lahan HGU SGC menjadi contoh nyata dari lemahnya pengawasan dan tata kelola tanah nasional.
Menanggapi situasi tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Politeknik Negeri Lampung (Polinela) bekerja sama dengan BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) menyatakan sikap tegas. Mereka menuntut pemerintah mengambil langkah nyata demi keadilan agraria dan keberlanjutan hidup masyarakat terdampak. Presiden Mahasiswa BEM Polinela sekaligus Koordinator Isu Pertanian dan Agraria BEM SI, Bagus Eka Saputra, menyampaikan lima tuntutan yang harus dipenuhi pemerintah:
Pertama, mendesak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk segera mengevaluasi kinerja Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, terkait lambannya penanganan konflik agraria PT SGC, yang telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.
Kedua, menuntut pemberhentian Menteri ATR/BPN apabila terbukti tidak mampu menyelesaikan konflik agraria yang terus berlarut dan merugikan rakyat, sebagai bentuk akuntabilitas terhadap amanat negara.
Ketiga, meminta keterbukaan data dan audit menyeluruh terkait izin, luasan, dan status HGU PT SGC agar publik memperoleh informasi yang jelas dan transparan mengenai tata kelola lahan yang bermasalah.
Keempat, mendukung penuh proses hukum yang sedang berlangsung terhadap PT SGC atas dugaan suap dan TPPU, serta mendorong Kejaksaan Agung dan KPK untuk menindak tegas pihak-pihak yang terlibat, sehingga penegakan hukum berjalan tanpa pandang bulu.
Kelima, menyerukan seluruh mahasiswa, organisasi rakyat, lembaga masyarakat sipil, dan media untuk terus mengawal isu agraria serta mendorong pelaksanaan reforma agraria sejati, agar hak rakyat atas tanah dapat terpenuhi dan ketimpangan agraria dapat dikurangi.
“Konflik agraria bukan sekadar sengketa lahan, tetapi juga persoalan keadilan struktural, keberlanjutan hidup petani, dan martabat rakyat. Jika negara gagal hadir, mahasiswa tidak boleh diam,” tegas Bagus Eka Saputra pada Minggu, 17 Agustus 2025.
BEM Polinela menambahkan, persoalan lahan PT SGC mencerminkan semakin kuatnya oligarki tanah di Indonesia. Mereka menegaskan komitmen untuk berdiri bersama rakyat, mengawasi proses hukum dan kebijakan pemerintah, serta terus menekan agar reforma agraria berjalan sesuai prinsip keadilan sosial. Selain itu, mahasiswa menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam pengelolaan lahan, agar konflik serupa tidak terus berulang di masa depan.***