SAIBETIK – Kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat tiga pejabat PT Lampung Energi Berjaya (PT LEB) kini memunculkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Komisaris dan dua direksi yang kini ditahan di Rutan Kelas I Bandar Lampung diduga menyalahgunakan wewenang dalam pengelolaan Dana Participating Interest (PI) 10 persen. Namun, publik menyoroti satu hal krusial yang menjadi inti hukum pidana: apakah benar mereka memiliki mens rea — atau niat jahat — dalam menjalankan kebijakan tersebut?
PT LEB merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dibentuk untuk mengelola dana PI 10 persen hasil kerja sama migas di wilayah Lampung. Dana ini digunakan untuk berbagai keperluan seperti pembayaran gaji, operasional perusahaan, transfer ke kas daerah, hingga dana cadangan. Semua mekanisme itu dilaksanakan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), forum tertinggi dalam struktur pengambilan keputusan BUMD.
Secara hukum, keputusan RUPS menjadi landasan sah setiap tindakan direksi dan komisaris. Dengan dasar itu, muncul pertanyaan besar di kalangan masyarakat hukum: jika tindakan direksi dan komisaris dijalankan sesuai hasil RUPS, mengapa mereka justru dijadikan tersangka korupsi? Apakah penyidik telah benar-benar menemukan bukti adanya niat jahat di balik keputusan mereka, ataukah persoalan ini hanya sebatas perbedaan tafsir administratif dalam pengelolaan keuangan daerah?
Beberapa pengamat hukum di Lampung juga mulai menyoroti tanggung jawab pihak lain yang memiliki peran lebih besar dalam struktur perusahaan, yakni pemegang saham PT LEB: PT Lampung Jasa Utama (PT LJU) dan PDAM Way Guruh. Sebagai induk perusahaan, kedua entitas inilah yang seharusnya bertanggung jawab dalam penyelenggaraan RUPS dan pengawasan kinerja direksi.
Fakta yang beredar menunjukkan bahwa RUPS diduga tidak diselenggarakan secara rutin sesuai ketentuan. Kondisi tersebut memaksa komisaris dan direksi mengambil kebijakan operasional agar aktivitas perusahaan tetap berjalan. Pertanyaan pun muncul: jika keputusan itu diambil dalam kondisi terpaksa karena vakumnya arahan pemegang saham, apakah dapat dikategorikan sebagai bentuk niat jahat atau penyalahgunaan wewenang?
Dalam hukum pidana, unsur mens rea atau niat jahat menjadi syarat mutlak untuk menetapkan seseorang bersalah dalam tindak pidana korupsi. Tanpa adanya bukti kuat bahwa seseorang dengan sengaja bermaksud memperkaya diri atau pihak lain, sulit membuktikan tindak pidana korupsi secara substantif. Oleh karena itu, publik menilai penting bagi aparat penegak hukum untuk membedakan antara maladministrasi (kesalahan administratif) dengan korupsi yang disertai niat jahat.
Menariknya, kasus ini menjadi unik karena Lampung bukan satu-satunya provinsi yang memiliki BUMD pengelola PI 10 persen. Tercatat ada tiga BUMD lain di Indonesia yang menjalankan fungsi serupa, namun tidak terseret masalah hukum. Hal ini menimbulkan spekulasi baru: apakah perbedaan terjadi pada model tata kelola, regulasi, atau mungkin karena pendekatan hukum yang berbeda dalam menilai tanggung jawab korporasi?
Publik berharap kasus PT LEB dapat menjadi pelajaran penting bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Pengelolaan dana PI 10 persen, yang sejatinya bertujuan memperkuat ekonomi daerah dan menyejahterakan rakyat, tidak seharusnya menjadi jebakan hukum bagi pejabat yang menjalankan tugas berdasarkan mandat RUPS.
Pakar tata kelola BUMD menilai, diperlukan regulasi nasional yang lebih jelas untuk mengatur mekanisme pertanggungjawaban pengelolaan PI 10 persen, termasuk batas kewenangan direksi, komisaris, dan pemegang saham. Tanpa regulasi yang tegas, kebijakan korporasi berisiko disalahartikan sebagai tindak pidana, meskipun sebenarnya dijalankan berdasarkan prinsip good corporate governance.
Kasus PT LEB menjadi cermin betapa pentingnya keseimbangan antara penegakan hukum dan kepastian hukum bagi para pelaksana BUMD. Sebab, tanpa kejelasan ini, semangat membangun daerah melalui BUMD justru bisa terhambat oleh ketakutan akan kriminalisasi kebijakan.
Sebagai penutup, masyarakat berharap penyidik KPK dan aparat hukum lainnya dapat menelusuri perkara ini dengan jernih, adil, dan transparan. Unsur mens rea tidak bisa hanya disimpulkan dari hasil keuangan, tetapi harus didukung oleh bukti niat, motif, serta kesengajaan untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Jika tidak, kasus PT LEB bisa menjadi preseden buruk bagi tata kelola BUMD di seluruh Indonesia.***
	    	


							



