SAIBETIK — Sebuah video yang memperlihatkan tiga wartawan menyampaikan permohonan maaf secara terbuka viral di media sosial pada Kamis (5/6/2025). Ketiganya diduga dipaksa membuat video tersebut oleh seorang pria yang mengaku pengacara dan Ketua Pemuda Lampung Barat Bersatu (PLB), Teuku Wahyu, usai insiden kunjungan ke rumah Kepala Pekon Sukananti, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat.
Ketiga wartawan—Yuheri, Reky, dan Roni—menyebut bahwa mereka datang atas janji pertemuan yang sebelumnya disepakati dengan Penjabat Kepala Pekon, Arnan, guna membahas kerja sama publikasi. Namun saat mereka tiba di lokasi yang dijanjikan, Arnan justru tidak berada di tempat dan tidak bisa dihubungi.
Setelah diarahkan untuk menunggu Sekretaris Desa, yang kemudian meninggalkan mereka tanpa pamit, ketiganya memilih bertamu ke kediaman Arnan untuk berkoordinasi. Tak lama kemudian, mereka menerima panggilan untuk kembali ke balai pekon.
Di lokasi tersebut, mereka disambut oleh Teuku Wahyu yang langsung menuduh mereka melakukan intimidasi dan masuk pekarangan rumah tanpa izin. Dalam tekanan verbal yang terekam video, Teuku memaksa para wartawan membuat permintaan maaf di depan kamera.
“Kami tidak boleh keluar dari Pekon kalau tidak membuat video permintaan maaf. Itu tekanan yang kami alami,” kata Yuheri, Jumat (6/6/2025).
Yuheri menyesalkan sikap Arnan yang dianggap tidak menghormati janji pertemuan, serta perlakuan intimidatif yang diterima dari Teuku Wahyu. Ia menilai, sebagai pejabat publik, Arnan seharusnya menunjukkan sikap terbuka terhadap komunikasi, bukan sebaliknya.
Ketiganya kini berencana menempuh jalur hukum. Pihak redaksi media tempat mereka bekerja sedang menyiapkan langkah hukum melalui pengacara perusahaan untuk melaporkan dugaan intimidasi, pencemaran nama baik, serta penyebaran video tanpa persetujuan di bawah UU ITE.
Sementara itu, Ketua PJID Lampung Utara, Bambang Irawan, mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh Teuku Wahyu. Ia menilai tindakan tersebut mencoreng profesi wartawan dan melanggar prinsip kemerdekaan pers.
“Jika ada dugaan pelanggaran kode etik, seharusnya disampaikan ke Dewan Pers, bukan dengan cara-cara yang intimidatif,” tegas Bambang.
Kasus ini menambah daftar panjang tantangan kebebasan pers di daerah, sekaligus menjadi pengingat pentingnya perlindungan hukum bagi jurnalis yang menjalankan tugasnya di lapangan.***