SAIBETIK– Kasus pelanggaran etik di tubuh Polri kembali menjadi sorotan publik. Tiga anggota Polres Metro yang terbukti bersalah dalam Sidang Kode Etik Profesi Polri (KEPP) hingga kini belum juga menjalani sanksi demosi yang telah diputuskan sejak Agustus 2025.
Ketiga anggota tersebut adalah Kasat Reskrim Polres Metro AKP Hendra Safuan, Kanit PPA Satreskrim Iptu Astri Liyana, dan seorang penyidik pembantu Unit PPA Aipda Defitra. Berdasarkan hasil sidang kode etik yang digelar oleh Bid Propam Polda Lampung pada 29 Agustus 2025, ketiganya dinyatakan melanggar Kode Etik Profesi Polri dan dijatuhi hukuman demosi selama satu tahun.
Namun, hingga pertengahan Oktober 2025, sanksi tersebut belum juga dijalankan. Ketiganya masih aktif menjabat seperti biasa di Polres Metro. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat, bahkan memunculkan kesan bahwa penegakan disiplin di internal kepolisian terkesan lemah dan tidak konsisten.
Muhammad Gustryan dari Ryan Gumay Law Firm, selaku pelapor kasus, menyampaikan bahwa pihaknya sudah berulang kali meminta kejelasan kepada Polda Lampung mengenai pelaksanaan putusan etik tersebut. Namun yang ditemukan justru saling lempar informasi antarbagian.
“Biro SDM Polda Lampung mengatakan belum menerima surat keputusan dari Wabprof, sementara Wabprof mengklaim sudah mengirimkan surat. Ini menunjukkan lemahnya koordinasi internal. Padahal, keputusan etik seharusnya segera dieksekusi karena sifatnya final dan mengikat,” ujar Ryan pada Senin, 20 Oktober 2025.
Ryan menegaskan, lambatnya pelaksanaan putusan etik dapat merusak kepercayaan publik terhadap Polri. “Kalau hasil sidang kode etik saja tidak dijalankan, bagaimana masyarakat mau percaya bahwa Polri serius menegakkan hukum secara adil?” katanya.
Menurutnya, sanksi etik bukan sekadar hukuman administratif, melainkan simbol komitmen moral institusi untuk menjaga integritas dan profesionalitas. “Kalau pelanggar etik masih dibiarkan menduduki jabatan penting, itu sama saja melegitimasi pelanggaran hukum sebagai hal biasa. Ini berbahaya untuk citra Polri secara keseluruhan,” tegasnya.
Ryan juga menyebut akan mengirimkan surat resmi kepada Kapolri dan Irwasum Polri guna meminta perhatian khusus atas lambatnya pelaksanaan keputusan etik ini. Ia menilai, hanya dengan tindakan tegas dari pimpinan pusat, kepercayaan publik terhadap Polri dapat dipulihkan.
“Polri harus menunjukkan ketegasan. Tidak boleh ada kesan pilih kasih. Jangan biarkan pelanggar etik merasa kebal hanya karena jabatan atau kedekatan struktural,” pungkas Ryan.
Diketahui, ketiga anggota Polres Metro tersebut sebelumnya dilaporkan ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Lampung atas dugaan pelanggaran prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam penanganan kasus dugaan pencabulan yang melibatkan Ketua PGRI Kota Metro, Adi Firmansyah.
Laporan terhadap ketiganya terdaftar dalam Tanda Terima Pengaduan Propam Nomor: SPSP2/55/V/2025/Subbagyanduan dan SPSP2/56/V/2025/Subbagyanduan tertanggal 20 Mei 2025. Dalam laporan tersebut, tim kuasa hukum menemukan sejumlah pelanggaran serius, seperti penetapan tersangka dalam waktu kurang dari 24 jam setelah laporan dibuat, tidak diberikannya hak pendampingan hukum, hingga dugaan penyidik tidak memiliki sertifikasi sebagaimana diatur dalam Perkapolri Nomor 3 Tahun 2024.
Salah satu terlapor bahkan disebut melakukan penangkapan sebelum laporan polisi dibuat, tanpa dasar hukum yang jelas dan di luar kewenangannya sebagai anggota Satres Narkoba. Akibatnya, proses hukum terhadap Adi Firmansyah dinilai cacat secara formil maupun materil.
Setelah diajukan ke Pengadilan Negeri Metro melalui praperadilan Nomor 1/Pid.Pra/2025/PN Metro, hakim menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Adi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hakim menilai bahwa proses penyidikan telah melanggar asas due process of law dan fair trial sebagaimana diatur dalam KUHAP dan UUD 1945.
Dalam amar putusannya, hakim memerintahkan pembebasan Adi dari tahanan serta menegaskan seluruh biaya perkara dibebankan kepada pihak termohon. “Penetapan tersangka oleh Polres Metro tertanggal 10 Mei 2025 dinyatakan tidak sah karena cacat hukum,” tegas Ryan, mengutip putusan hakim.
Kasus ini kini menjadi perhatian luas masyarakat karena dinilai mencerminkan pentingnya konsistensi penegakan hukum internal di tubuh Polri. Jika putusan etik yang telah inkracht saja belum dijalankan, publik patut bertanya: di mana komitmen Polri dalam menegakkan keadilan dan disiplin di dalam institusinya sendiri?***