SAIBETIK– Sidang praperadilan Dirut PT Lampung Energi Berjaya (LEB), M. Hermawan Eriadi, memasuki hari keempat, Rabu (3/12/2025), dan kembali menimbulkan sorotan publik. Kuasa hukum Hermawan, Riki Martim, menyoroti sejumlah kejanggalan dalam penetapan tersangka dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung, sementara pihak Kejati enggan memberikan klarifikasi pasca-persidangan.
Sidang yang seharusnya diwarnai keterangan saksi ahli hanya menghadirkan ahli dari pihak pemohon, yakni Dian Puji Nugraha Simatupang, Ahli Keuangan Negara dari Universitas Indonesia, dan Akhyar Salmi, pakar hukum pidana Universitas Indonesia. Keputusan Kejati Lampung untuk tidak menghadirkan saksi ahli memunculkan anggapan bahwa mereka terlalu percaya diri atau sengaja menahan informasi dari publik. Eks Dirut PT Wahana Raharja, Ferdi Gusnan, yang hadir menyaksikan jalannya persidangan menyebut, “Kejati Lampung berani, tapi mungkin terlalu yakin bisa menang tanpa menghadirkan saksi ahli.”
Riki Martim menyoroti persoalan transparansi Kejati Lampung terkait laporan hasil audit kerugian negara. Menurutnya, dokumen audit yang menjadi dasar sangkaan terhadap Hermawan tidak dihadirkan secara lengkap dalam persidangan. “Berkasnya parsial, halamannya berlompat-lompat dan tidak utuh. Ini membuat alat bukti yang harusnya lengkap justru belum sah,” ujarnya.
Saksi ahli hukum pidana Akhyar Salmi menegaskan bahwa ketidaklengkapan dokumen tersebut membuat satu alat bukti belum utuh. Selain itu, Riki menambahkan bahwa Kejati Lampung mempermasalahkan legalitas PT LJU dan PT LEB, sehingga penggunaan keuangan operasional dianggap tidak sah. Namun menurut kuasa hukum, dasar sangkaan ini tidak kuat karena Kejati tidak berkoordinasi dengan otoritas berwenang seperti Kementerian ESDM, yang memang berhak menilai legalitas usaha di bidang migas. Kejaksaan justru hanya mengandalkan keterangan ahli yang tidak dihadirkan dalam sidang.
“Yang pasti, penyidik Kejati memakai ahli untuk menyatakan penggunaan keuangan operasional PT LJU dan PT LEB tidak sah, padahal legalitas perusahaan itu seharusnya ditentukan oleh Kementerian ESDM atau pengadilan,” jelas Riki. Ahli keuangan Dian Simatupang menegaskan hal yang sama: pernyataan Kejati Lampung soal legalitas perusahaan tidak sah karena yang berhak menilai adalah pejabat otorisasi atau keputusan pengadilan.
Ketidaklengkapan bukti dan penetapan tersangka yang masih bermasalah membuat kuasa hukum kecewa. “Ini sidang praperadilan yang seharusnya jadi arena uji sah atau tidaknya penetapan tersangka, tapi Kejati Lampung masih menutup-nutupi laporan audit. Sampai hari keempat ini, tidak ada transparansi, apalagi ada sangkaan yang hanya berdasar ahli, bukan pejabat otorisasi,” tutur Riki.
Sementara itu, Zahri, perwakilan Pidsus Kejati Lampung, enggan menanggapi pertanyaan media dan kuasa hukum. “Ke Penkum aja langsung ya,” katanya singkat, menutup kemungkinan klarifikasi lebih lanjut dari pihak Kejati.
Sidang praperadilan ini masih menyisakan banyak pertanyaan publik terkait transparansi dan prosedur hukum. Agenda selanjutnya adalah mendengar kesimpulan dari kedua belah pihak, yang dijadwalkan Kamis (4/12/2025) di PN Tanjungkarang. Banyak pihak menunggu apakah hakim akan mempertimbangkan kejanggalan yang diungkap kuasa hukum dan ahli, serta menilai apakah penetapan tersangka terhadap M. Hermawan Eriadi sah secara hukum atau harus dibatalkan.
Kejadian ini menjadi sorotan karena menekankan pentingnya keterbukaan, prosedur hukum yang tepat, dan perlunya koordinasi dengan otoritas berwenang dalam kasus tipikor yang melibatkan perusahaan besar dan aset negara. Publik pun menanti keputusan yang tidak hanya adil, tapi juga transparan.***





