SAIBETIK- PN Tanjung Karang Timur hari ini menjadi pusat perhatian publik. Sidang putusan pra peradilan yang menentukan nasib Direktur Utama PT LEB, M. Hermawan Eriadi, digelar pada Senin, 8 Desember 2025 pukul 13.00 WIB. Banyak pihak bertanya-tanya: akankah Hakim Tunggal Muhammad Hibrian mengabulkan permohonan pembatalan status tersangka yang diajukan Hermawan?
Ketegangan tak hanya dirasakan Hermawan. Komisaris dan salah satu direksi PT LEB yang masih ditahan di Rutan Way Huwi sejak 22 September 2025 juga menantikan putusan ini dengan penuh harap. Hasil sidang hari ini dinilai menjadi momentum penting yang dapat menentukan langkah hukum mereka selanjutnya. Jika permohonan Hermawan dikabulkan, besar kemungkinan kedua pejabat lainnya akan mengikuti jejaknya dengan mengajukan pra peradilan atas penetapan status tersangka oleh Kejati Lampung.
Drama hukum ini kian memanas setelah fakta-fakta mengemuka dalam persidangan. Salah satu sorotan utama adalah terkait dugaan pelanggaran prosedur yang dilakukan penyidik Kejati Lampung. Dalam persidangan terungkap bahwa Kejati hanya melakukan pemeriksaan terhadap Hermawan sebagai saksi, bukan sebagai calon tersangka—bertentangan dengan ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014.
Ahli pidana Akhyar Salmi menegaskan bahwa pemeriksaan calon tersangka merupakan syarat wajib sebelum seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka. Pemeriksaan yang hanya menggali identitas atau kedudukan dalam perusahaan tidak memenuhi unsur pemeriksaan substantif. “Seseorang tidak bisa ditetapkan sebagai tersangka jika tidak pernah diperiksa secara materiil, tidak diberi kesempatan mengetahui perbuatan yang disangkakan, serta tidak dikonfrontasi dengan keterangan saksi,” tegasnya.
Akhyar menilai penetapan tersangka Hermawan cacat formil karena melanggar asas due process of law dan asas audi et alteram partem. Ia juga menyebut Kejati Lampung hanya memberikan dokumen parsial terkait tuduhan kerugian negara, yang menurutnya tidak cukup untuk dijadikan alat bukti yang sah.
Sorotan tajam juga datang dari saksi ahli lainnya, Dian Simatupang, akademisi Universitas Indonesia yang merupakan ahli administrasi keuangan negara. Ia menegaskan bahwa dalam kasus dugaan korupsi, penetapan tersangka harus didasarkan pada laporan hasil audit kerugian negara dari lembaga resmi seperti BPK atau BPKP sesuai amanat UU No. 15/2006, UU No. 15/2004, dan Peraturan BPK No. 1/2020.
Menurut Dian, kerugian negara harus bersifat nyata, pasti, terukur, dan disampaikan kepada pihak yang diperiksa. Namun dalam kasus PT LEB, jaksa disebut tidak pernah menyampaikan angka kerugian negara kepada Hermawan maupun pihak lainnya. Ia juga menyebut bahwa dokumen audit yang ditampilkan di persidangan hanya beberapa lembar dari ratusan halaman sehingga tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti sah.
Dalam sesi lanjutan, Dian menjawab berbagai pertanyaan mengenai fasilitas negara dan participating interest (PI) yang menjadi bagian dari skema bisnis PT LEB. Ia menegaskan bahwa PI 10% bukanlah fasilitas negara, melainkan sumber pendapatan berupa dividen untuk daerah. Karena itu, penetapan tersangka tidak dapat dikaitkan pada klaim kerugian negara tanpa dasar hukum yang kuat.
Sementara itu, tim dari Kejati Lampung memilih bungkam setelah persidangan. Mereka langsung meninggalkan PN Tanjung Karang tanpa memberikan komentar, dan hingga kini Kejati belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait temuan-temuan di persidangan.
Publik kini menantikan putusan hakim dengan penuh penasaran. Apakah permohonan pra peradilan Hermawan akan dikabulkan? Dan jika itu terjadi, apakah dua pejabat PT LEB lainnya akan segera menyusul? Semua pertanyaan itu akan terjawab dalam sidang yang disebut-sebut menjadi salah satu momen paling menentukan dalam kasus ini.***





