SAIBETIK- Kasus dugaan korupsi dana Participating Interest (PI) 10% di PT Lampung Energi Berjaya (LEB) terus menjadi sorotan publik. Nilai yang fantastis mencapai Rp271 miliar, dengan sekitar Rp140 miliar telah masuk ke kas Pemprov Lampung, membuat perkara ini disebut-sebut sebagai salah satu skandal migas terbesar di provinsi tersebut.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung telah menetapkan tiga orang tersangka yang seluruhnya merupakan jajaran direksi PT LEB. Mereka adalah direktur utama, direktur operasional, serta komisaris perusahaan. Ketiganya resmi diumumkan sebagai tersangka pada Senin, 22 September 2025, dan kini ditahan di Rutan Way Hui untuk menjalani proses hukum selama 21 hari ke depan.
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Lampung, Armen Wijaya, SH, MH, menegaskan pihaknya berkomitmen penuh dalam penanganan kasus ini. “Kami berkomitmen agar pengelolaan dana PI 10% di sektor migas bisa terkelola dengan baik. Ini adalah langkah penting untuk mengembalikan kepercayaan publik,” ujarnya.
Namun, ketika disinggung mengenai kemungkinan pemeriksaan pejabat OPD maupun mantan pejabat SKPD yang turut memiliki kewenangan dalam perseroda tersebut, jawaban Armen terdengar normatif. Ia menekankan bahwa dalam struktur pemegang saham PT LEB, posisi utama berada di tangan kepala daerah atau gubernur. Gubernur kemudian memiliki kewenangan melimpahkan mandat kepada pejabat lain, termasuk bupati. Hal inilah yang membuat publik menduga adanya kemungkinan keterlibatan pejabat pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Kita akan terus mengejar pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini, karena itu komitmen kami. Semua yang terbukti akan ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku,” tegas Armen tanpa menjelaskan lebih jauh apakah pemeriksaan akan menjangkau ranah pejabat aktif maupun mantan pejabat OPD.
Kasus ini kian menarik karena diketahui, ketiga tersangka yang kini ditahan sebelumnya menerima mandat langsung dari Gubernur Lampung kala itu, Arinal Djunaidi. Dengan kewenangan tersebut, mereka dianggap memiliki posisi strategis dalam pengelolaan dana PI 10% yang kini dipersoalkan. Publik pun mendesak agar Kejati tidak berhenti pada level direksi, melainkan berani mengusut lebih dalam apakah ada aliran dana mencurigakan yang mengarah ke pejabat lain, termasuk elite daerah.
Selain itu, transparansi penggunaan dana Rp140 miliar yang sudah masuk ke kas Pemprov Lampung juga dipertanyakan. Apakah benar dana tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat atau justru berpotensi diselewengkan kembali. Apalagi, rekam jejak pengelolaan keuangan daerah Lampung kerap dikritik karena minim akuntabilitas.
Kasus PT LEB bukan hanya soal kerugian negara, tetapi juga menyangkut integritas tata kelola sektor migas di daerah. Skandal ini menyoroti lemahnya sistem pengawasan dan membuka celah praktik penyalahgunaan wewenang di level pejabat tinggi. Pertanyaan besar kini menggantung di publik: akankah Kejati benar-benar menuntaskan kasus ini hingga ke akar, ataukah hanya berhenti di level direksi perusahaan?***