SAIBETIK- Lampung Tengah kembali menjadi sorotan publik nasional setelah tiga bupati dalam tiga rezim berbeda tumbang akibat kasus korupsi. Fenomena ini memunculkan satu pertanyaan besar: apakah Lampung Tengah benar-benar terjebak dalam “lingkaran setan” korupsi yang tak kunjung terputus?
Selama lebih dari satu dekade, pola penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di kabupaten ini menunjukkan kemiripan mencolok—modus yang berulang, aktor berbeda namun rantai praktik gelapnya tetap sama. Investigasi data memperlihatkan bahwa penyimpangan anggaran dan suap yang terjadi bukan sekadar tindakan individu, melainkan gejala kerusakan sistemik yang dibiarkan hidup dari waktu ke waktu.
Andi Achmad: Dari Kursi Bupati hingga Buronan Skandal Bank Tripanca
Kasus pertama yang mengguncang Lampung Tengah terjadi pada 2008, saat Bupati Andi Achmad Sampurna Jaya terseret kasus pengalihan dana pemerintah ke BPR Tripanca Setiadana. Dana sebesar Rp28 miliar dipindahkan dari Bank Lampung ke bank tersebut, yang belakangan dinyatakan pailit dan membuat uang negara raib tanpa jejak.
Skandal ini bukan hanya merugikan negara, tetapi juga memicu drama penangkapan. Andi Achmad sempat menjadi buronan selama tiga pekan hingga akhirnya ditangkap di Bandar Lampung oleh tim Direskrim Polda Lampung. Reputasinya sebagai seniman musik berbahasa daerah Lampung pun tercoreng oleh kasus yang menyeretnya ke meja hijau.
Kasus Tripanca saat itu menjadi alarm keras mengenai lemahnya kontrol anggaran daerah. Namun, alarm itu tak pernah benar-benar direspon serius.
Mustafa: Reformis yang Tumbang oleh Suap Jelang Pilkada
Ketika Mustafa menjabat sebagai Bupati Lampung Tengah pada periode 2016–2021, publik sempat berharap munculnya pemimpin baru yang vokal terhadap reformasi. Namun ekspektasi itu runtuh pada 2018 ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkapnya terkait suap persetujuan pinjaman daerah dan fee proyek puluhan miliar rupiah.
Mustafa terbukti menerima aliran dana sekitar Rp50 miliar yang berasal dari praktik setoran berjenjang—dimulai dari kontraktor, kepala dinas, hingga pihak eksekutif dan legislatif. Skandal tersebut mengungkap sistem pungli proyek yang telah lama hidup di Lampung Tengah dan seolah menjadi tradisi gelap pemerintahan.
Kasus Mustafa memperlihatkan bahwa pola korupsi bukan semata ulah pribadi. Ia menunjukkan adanya sistem yang terstruktur: kontraktor dipaksa setor, pejabat dipaksa loyal, dan pejabat terpilih menggunakan proyek sebagai “mesin politik”.
Ardito Wijaya: Bupati Termuda yang Terseret Fee Proyek dan OTT KPK
Tidak berhenti sampai Mustafa, gelombang korupsi kembali mencuat pada 2025. Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Rabu malam (10/12/2025), dalam dugaan suap dan gratifikasi terkait proyek pengadaan pemerintah daerah.
Ardito, yang baru menjabat belum genap satu tahun, disebut menerima fee 15%–20% dari berbagai proyek dan mengantongi uang sekitar Rp5,75 miliar. Uang itu diduga digunakan untuk operasional bupati hingga pelunasan pinjaman kampanye.
Tidak hanya Ardito seorang yang terlibat. KPK menetapkan lima tersangka:
• Ardito Wijaya (Bupati Lampung Tengah)
• Riki Hendra Saputra (anggota DPRD Lampung Tengah)
• Ranu Hari Prasetyo (adik Bupati)
• Anton Wibowo (Plt. Kepala Bapenda, kerabat dekat)
• Mohamad Lukman Sjamsuri (swasta)
Keterlibatan kerabat, pejabat kepercayaan, hingga swasta menunjukkan bahwa praktik korupsi di Lampung Tengah kembali mengikuti pola klasik: lingkaran dalam kekuasaan bekerja seperti organisasi tertutup.
OTT ini memicu gelombang kritik karena terjadi di tengah bencana banjir bandang Sumatera. Publik menilai pemimpin daerah seharusnya bekerja untuk korban, bukan memperkaya diri.
Apakah Lampung Tengah Mengalami Krisis Struktural?
Jika tiga bupati dalam tiga rezim berbeda tumbang oleh kasus serupa, maka masalahnya bukan lagi soal moral individu. Ada krisis struktural yang jauh lebih dalam:
• lemahnya pengawasan internal,
• budaya setoran proyek yang diwariskan antarpejabat,
• dominasi elit politik keluarga,
• lemahnya transparansi anggaran,
• kontraktor yang “wajib setor” demi proyek.
Lampung Tengah membutuhkan reformasi menyeluruh, bukan hanya pergantian pemimpin. Tanpa itu, siapapun yang duduk di kursi bupati berpotensi terjebak dalam pola lama yang terus berulang.
Kasus Andi Achmad, Mustafa, dan Ardito bukan tiga cerita terpisah — melainkan satu benang merah dari sistem yang gagal dibersihkan.
Masyarakat kini menunggu: apakah Lampung Tengah akan bangkit, atau kembali menambah daftar bupati yang tumbang?***








