SAIBETIK- Sastra Indonesia kerap hadir sebagai medium kritik sosial. Dari era Chairil Anwar yang menyalakan api eksistensialisme, WS Rendra dengan teater puisinya, hingga Wiji Thukul dengan suara perlawanan rakyat, karya-karya sastra telah menjadi senjata moral untuk menyingkap kebobrokan sosial. Dalam tradisi itu, muncul teks “Skandal!”—sebuah prosa liris yang menyoal dunia pendidikan.
Karya Muhammad Alfariezie: Penyair asal Kota Bandar Lampung ini mengundang pembaca untuk menelusuri metafora permainan anak-anak sebagai simbol penyembunyian, kecurangan, dan ironi birokrasi pendidikan.
Kritik sastra ini berupaya membaca “Skandal!” dalam tiga dimensi: estetika, muatan sosial, dan posisinya dalam peta sastra kritik sosial Indonesia.
Skandal
Skandal! Silahkan eksekutif
dan legislatif pendidikan
bersembunyi dalam rentetan
sedih penghuni
sekolah swasta dan silahkan
eksekutif-legislatif pendidikan
bersembunyi
dalam bertumpuk masalah
sekolah ilegal Bunda Eva
Seperti anak-anak
berpetak umpet di awal
senja, silahkan bersembunyi
dalam rimbun ancaman
ular, dalam gatal rumpun
berulat dan silahkan sembunyi
dalam curang rumah permainan
Kalian akan ketahuan meski
berselimut kamar kecurangan,
kalian tak mampu menutup
hasrat kemanusiaan
bahwa permainan adalah
bahasa paling jujur
hanya untuk bersenang
senang bukan menyilang
kesalahan
Bandar Lampung, 2025
Analisis Teks
1. Struktur dan Bentuk
“Skandal!” berada di persimpangan puisi dan prosa. Ia bukan narasi linear, tetapi juga tidak mengikuti bait puisi konvensional. Repetisi kata “silahkan” membentuk pola mantra, memberi tekanan emosional, sekaligus menandai serangan satir yang berulang terhadap eksekutif-legislatif pendidikan.
2. Tema dan Gagasan
Tema utama adalah pengkhianatan terhadap pendidikan. Pemerintah digambarkan bersembunyi dari tanggung jawab, membiarkan sekolah swasta menanggung beban. Kritik ini diperkuat oleh perbandingan ironis: pejabat negara diposisikan sebagai anak kecil yang main petak umpet.
3. Simbol dan Alegori
Petak umpet: alegori penyembunyian masalah, kelicikan, dan ketidakjujuran kekuasaan.
Rimbun ancaman ular, semak berulat: representasi lingkungan pendidikan yang penuh bahaya dan penyakit struktural.
Kamar kecurangan: simbol kekuasaan yang dibangun di atas manipulasi, tetapi rapuh menghadapi kebenaran.
Permainan jujur: idealisme kemanusiaan dan pendidikan yang seharusnya bersih dari manipulasi birokrasi.
4. Gaya Bahasa
Diksi yang digunakan cenderung keras: skandal, ular, curang, berulat. Pemilihan kata-kata ini menimbulkan nuansa gelap, sejalan dengan substansi kritik. Repetisi “silahkan” menciptakan irama satir yang sekaligus melemahkan wibawa penguasa, menjadikan mereka sosok yang ditertawakan.
Perbandingan dengan Tradisi Kritik Sosial Sastra Indonesia
WS Rendra
Seperti dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, Rendra menggunakan repetisi untuk mengkritik rezim pembangunan. “Skandal!” memiliki kemiripan gaya: repetitif, satir, penuh sindiran. Namun Rendra lebih konkret dalam menyebut fakta sosial, sedangkan “Skandal!” lebih alegoris.
Wiji Thukul
Puisi-puisi Wiji Thukul lugas dan langsung menghantam, seperti “Peringatan” yang menutup dengan seruan “hanya ada satu kata: lawan!”. “Skandal!” tidak memilih jalan lugas, melainkan metafora permainan. Meski berbeda gaya, keduanya sama-sama berpihak pada rakyat yang tertindas.
Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji membebaskan kata, menjadikannya mantra. Dalam “Skandal!”, repetisi “silahkan” juga terasa mantrawi, meski tetap terikat pada makna kritik sosial. Jika Sutardji lebih menekankan kebebasan bahasa, “Skandal!” menekankan kritik ideologis.
Nilai Estetis dan Sosial
Daya tarik “Skandal!” ada pada keberaniannya memadukan estetika metafora dengan substansi kritik sosial. Ia tidak sekadar protes, tetapi juga permainan bahasa yang menghadirkan pengalaman membaca penuh ironi. Meski demikian, kelemahannya adalah sifatnya yang fragmentaris: metafora-metafora kadang longgar keterhubungannya, membuat pembaca awam berpotensi kehilangan arah.
Namun justru karena sifat fragmentaris itu, teks ini dapat dibaca sebagai sastra perlawanan yang cair: tidak sepenuhnya terikat pada tradisi Rendra, Thukul, atau Sutardji, tetapi mengambil unsur dari ketiganya untuk membangun suara unik.
“Skandal!” adalah prosa liris yang mengusung alegori permainan sebagai cara mengekspos kebobrokan birokrasi pendidikan. Dengan repetisi mantrawi, simbol-simbol satir, dan kontras antara permainan jujur dengan kecurangan politik, karya ini menempati posisi penting dalam tradisi kritik sosial sastra Indonesia.
Jika Rendra memotret pembangunan, Wiji Thukul menyerukan perlawanan, dan Sutardji membebaskan kata, maka “Skandal!” menyindir penguasa dengan menempatkan mereka sebagai anak-anak pengecut yang bersembunyi dalam permainan. Ia bukan hanya kritik sosial, tetapi juga satire yang mengingatkan bahwa pendidikan seharusnya berpihak pada kemanusiaan, bukan pada permainan kecurangan.***