SAIBETIK– Muhammad Alfariezie, penyair muda asal Bandar Lampung, kembali menghadirkan karya yang tajam dan relevan dengan kondisi sosial saat ini. Karyanya yang berjudul “Jurnalisme Sebungkus Mie Instan” menyuarakan kritik pedas terhadap praktik jurnalisme lokal yang kerap kehilangan arah dan keberanian, sekaligus mengangkat isu penting mengenai kualitas pemberitaan yang dikonsumsi publik.
Dalam bait-bait awal, Alfariezie menggunakan perbandingan sederhana namun penuh makna, antara peristiwa sepekan dan sebungkus mie instan atau sepiring mie ayam. Perbandingan ini tidak hanya ironis, tetapi juga sindiran halus terhadap media lokal yang sering menyoroti berita seremonial, seperti kegiatan Gubernur Lampung dan Wali Kota Bandar Lampung, tanpa kedalaman analisis dan konteks yang berarti. Penyair menekankan bahwa berita seharusnya menjadi sarana informasi kritis bagi publik, bukan sekadar konsumsi instan yang cepat basi.
Karya ini secara khusus menyoroti media lokal yang jarang berani menyingkap kasus regulasi atau aliran dana publik yang fantastis. Alfariezie menilai bahwa ketika media mencoba membahas kasus, seringkali hanya sebatas dugaan tanpa dasar fakta yang jelas. Hal ini ia ungkapkan melalui metafora yang kuat: “berita hari ini hanya menjadi bungkus bakwan di warung nasi.” Ungkapan ini menggambarkan bagaimana berita, yang seharusnya bernilai strategis, direduksi menjadi konsumsi cepat tanpa bobot, layaknya makanan kaki lima yang murah namun mudah dilupakan.
Selain menyoroti media, karya ini juga menyinggung tokoh politik lokal secara halus. Kritik Alfariezie tidak berhenti pada individu, tetapi diarahkan pada sistem dan budaya jurnalistik yang membiarkan kekuasaan berjalan tanpa pengawasan memadai. Ia menegaskan bahwa media kehilangan peran sebagai pengawas sosial dan cenderung berubah menjadi corong seremonial yang aman, tanpa keberanian menyingkap akar masalah.
Secara bentuk, “Jurnalisme Sebungkus Mie Instan” bisa dikategorikan sebagai puisi bebas atau prosa liris. Struktur kalimatnya mengalir bebas, tanpa rima baku, namun tetap mempertahankan kekuatan imaji, ironi, dan satir. Pilihan diksi yang sederhana namun mengena memungkinkan pembaca merasakan kritik secara langsung, sekaligus menghubungkannya dengan pengalaman sehari-hari, seperti menyantap mie instan atau bungkus bakwan di warung.
Karya ini juga menjadi cermin bagi sastra lokal untuk tetap relevan dengan isu sosial dan politik. Alfariezie membuktikan bahwa puisi tidak hanya soal keindahan bahasa, tetapi juga alat untuk menyuarakan keresahan masyarakat. Ia menghadirkan perspektif baru tentang peran jurnalisme, sekaligus menekankan pentingnya literasi kritis bagi pembaca.
Lebih jauh, “Jurnalisme Sebungkus Mie Instan” menegaskan posisi Alfariezie sebagai suara muda yang berani menghadirkan kritik tanpa kompromi. Karyanya tidak hanya menghibur melalui ironi dan satir, tetapi juga mendidik, mendorong pembaca untuk mempertanyakan kualitas berita dan peran media dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, puisi ini menjadi sarana refleksi sosial sekaligus pengingat bahwa sastra tetap memiliki kekuatan untuk menggugat realitas.***