SAIBETIK– Puisi-puisi dalam buku terbaru Isbedy Stiawan ZS, *“Menungguku Tiba”*, sukses memancing diskusi hangat di KL Coffee Indonesia, Kelapa Tujuh, Kotabumi, Lampung Utara, Jumat malam (19/9/2025). Acara yang berlangsung pukul 19.00-22.00 ini menghadirkan mahasiswa, seniman, dan pemerhati seni Lampung Utara, termasuk Nani Rahayu, Maulana Imau, Milyar, dan Ayu Permata Sari.
Diskusi dipandu moderator Fitri Angraini, dosen UIN Radin Intan Lampung, dengan dua pemantik yaitu Djuhardi Basri dan Meutia Rachmatia. Meutia, Ketua Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, menyoroti tema puisi Isbedy yang multi tafsir. “Arus utama puisi Isbedy adalah kerinduan, penantian, dan kehilangan. Tapi ada juga tema sosial yang terselip,” jelas Meutia. Ia menambahkan, setiap puisi menyisakan pertanyaan bagi pembaca: siapa yang menunggu, siapa yang merindu, dan siapa yang kehilangan.
Djuhardi Basri, penyair dan sutradara teater Sangkar Mahmud UMKO, menekankan pentingnya pemilihan kata. Menurutnya, Isbedy berhasil menempatkan kata-kata di posisi yang tepat, menciptakan puisi yang memikat sekaligus multi tafsir. “Dari judul saja, sudah mengundang rasa ingin tahu. Siapa yang menunggu? Aku atau maut?” ujar Djuhardi, sambil menambahkan bahwa produktivitas Isbedy mirip dengan Putu Wijaya, yang “gila” dalam melahirkan karya.
Diskusi semakin menarik ketika koreografer Ayu Permata Sari menyinggung apakah seniman harus menjaga “gangguan” dalam diri atau mencari zona nyaman. Isbedy tegas memilih tetap berada di area “gangguan”, karena menurutnya kegelisahan menjadi bahan bakar kreativitas seorang seniman.
Acara ditutup dengan pembacaan puisi oleh Djuhardi, Meutia, Shera, Alif, Ayu Permata Sari, dan Isbedy sendiri yang membacakan “Sajaksajak Pendek Ditulis Ketika Kau Menungguku Tiba”.
Dengan nuansa hangat, kritis, dan interaktif, diskusi ini menunjukkan bagaimana puisi bisa menjadi jembatan refleksi dan imajinasi, sekaligus membuktikan bahwa Isbedy tetap produktif di usia 67 tahun.***