SAIBETIK- Puisi sering kali menjadi cara sederhana namun mendalam untuk menyampaikan perasaan, pikiran, bahkan renungan hidup.
Salah satunya dapat kita lihat dalam puisi “Kembang Senja Berembun” karya Penyair Muda: Muhammad Alfariezie.
Sekilas, puisi ini hanya menggambarkan bunga, embun, dan senja. Namun bila ditelaah lebih jauh, setiap larik menyimpan makna tentang perjalanan hidup manusia. Berikut ini bunyinya.
Kembang Senja Berembun
Sehelai kembang di ujung ranting tepi sungai menadah sebutir kilau sisa hujan berpayung senja
Sampai kapan beningnya jatuh atau mengering? Hingga senja menutup teduh warnanya
Sehelai kembang yang mulai menguning terancam gugur karena beratnya embun
2025
Bunga, Embun, dan Senja sebagai Simbol
Dalam puisi ini, bunga digambarkan sedang menadah sisa hujan di tepi sungai. Lambat laun, bunga itu mulai menguning dan hampir gugur karena beratnya embun. Bunga menjadi simbol kehidupan manusia: indah, rapuh, dan tak terelakkan menuju akhir.
Embun yang membebani bunga melambangkan beban hidup, masalah, atau penderitaan yang kita pikul sehari-hari. Sementara itu, senja hadir sebagai simbol waktu yang terus berjalan. Senja identik dengan akhir perjalanan sebelum gelap, menggambarkan usia manusia yang kian menua.
Bahasa yang Puitis dan Melankolis
Puisi ini menggunakan gaya bahasa personifikasi, metafora, dan simbolisme. Misalnya, bunga digambarkan seolah bisa menadah sisa hujan, atau senja yang menutup teduh warnanya. Pilihan kata sederhana seperti “kembang”, “senja”, “embun”, dan “gugur” membuat pembaca mudah membayangkan, sekaligus larut dalam suasana melankolis yang ditawarkan.
Rima dalam puisi ini bersifat bebas, tetapi pengulangan bunyi vokal dan konsonan tertentu—seperti -a dan -ng—membuat alunannya terasa lembut dan sendu.
Makna yang Dapat Kita Petik
Lebih dari sekadar lukisan alam, “Kembang Senja Berembun” mengingatkan kita bahwa hidup bersifat fana. Seindah apa pun bunga, pada akhirnya ia akan layu dan gugur. Demikian pula manusia, sekuat apa pun, akan sampai pada senja kehidupannya.
Pesan yang bisa dipetik adalah ajakan untuk menerima perjalanan waktu dengan bijak. Setiap beban hidup sebaiknya dipandang sebagai bagian dari proses, dan setiap momen harus dimaknai sebelum senja benar-benar menutup warna kehidupan.
Ruang Perenungan
Puisi ini memberi kita ruang untuk berhenti sejenak dan merenung. Melalui simbol-simbol sederhana dari alam, penulis mengajak pembaca menyadari kefanaan, merasakan keteduhan, sekaligus menemukan keindahan dalam pasrah.
“Kembang Senja Berembun” tidak hanya indah dibaca, tetapi juga menjadi cermin bagi siapa saja yang ingin memahami makna hidup.***