SAIBETIK- Puisi “Jalan Gelap Undang-Undang” karya Muhammad Alfariezie menghadirkan kritik sosial yang tajam terhadap cara negara bekerja melalui hukum. Dengan pendekatan pemikiran Louis Althusser, puisi ini dapat dibaca sebagai refleksi tentang bagaimana undang-undang berfungsi bukan sekadar aturan normatif, melainkan sebagai aparatus ideologis negara yang membentuk kesadaran, kepatuhan, dan cara pandang warga secara halus dan nyaris tak terasa.
Alfariezie membuka puisinya dengan larik yang terdengar rendah hati: “Bukan maksud kami mengganggu / kerja-kerja kalian”. Kalimat ini mencerminkan apa yang oleh Althusser disebut sebagai interpelasi ideologis, yakni proses ketika individu “dipanggil” oleh ideologi hingga ia mengakui posisinya sebagai subjek yang patuh. Subjek dalam puisi ini tidak datang sebagai pembangkang, melainkan sebagai warga yang sudah lebih dulu tunduk pada etika dan bahasa kekuasaan. Kritik justru lahir dari posisi yang telah terdisiplinkan.
Frasa “tapi ini jalan / undang-undang” menempatkan hukum sebagai satu-satunya jalur yang sah, meski digambarkan gelap. Di sinilah ideologi bekerja efektif: hukum tidak perlu adil atau terang, cukup diyakini sebagai satu-satunya jalan yang tersedia. Dalam perspektif Althusserian, ideologi tidak menghapus kontradiksi, tetapi membuat kontradiksi itu terasa normal dan dapat diterima dalam kehidupan sehari-hari.
Citra “bulan sesaat setelah adzan” menghadirkan dimensi aparatus ideologis lain, yakni agama. Althusser memasukkan agama sebagai ISA yang berfungsi menanamkan ketertiban moral. Namun, dalam puisi ini, simbol religius tersebut justru menjadi penanda ketiadaan harapan: “tanda hujan tak akan datang”. Spiritualitas hadir sebagai penghibur simbolik, bukan sebagai kekuatan yang mampu mengubah kondisi material atau ketimpangan struktural yang dialami subjek.
Bagian paling kuat dari puisi ini muncul pada penggambaran penjual mi tek-tek dan bandrek. Mereka adalah figur kelas pekerja informal yang hidup di luar jangkauan perlindungan hukum negara. Namun, justru di sanalah relasi produksi terus berjalan. Kalimat “rezekinya masih tergarap” memperlihatkan bagaimana sistem tetap bertahan bukan karena keadilan, tetapi karena rakyat terus bekerja meski berada dalam situasi gelap. Inilah paradoks ideologi menurut Althusser: sistem direproduksi oleh mereka yang paling sedikit menerima manfaat darinya.
Larik “Meski gelap tapi tak lembab” mengandung sindiran ideologis yang subtil. Negara kerap mengklaim keteraturan sebagai tanda moralitas, tetapi puisi ini membalik logika tersebut. Kegelapan jalan rakyat tidak identik dengan kebusukan, sementara terang institusi hukum justru menyimpan kontradiksi dan ketimpangan. Ideologi hukum membangun relasi imajiner bahwa undang-undang adalah pelindung semua orang, padahal realitas material menunjukkan sebaliknya.
Secara estetik, kesederhanaan bahasa puisi ini memperkuat daya kritisnya. Alfariezie menjauh dari diksi hukum yang formal dan elitis, memilih bahasa keseharian yang dekat dengan pengalaman kelas pekerja. Pilihan ini menjadi sikap politis: menolak bahasa negara dan menghadirkan bahasa jalanan sebagai medium kritik. Sastra di sini tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi juga melawan cara negara mendefinisikan realitas itu.
Melalui pembacaan Althusserian, “Jalan Gelap Undang-Undang” tampil sebagai puisi kritik yang menyingkap kerja ideologi hukum secara senyap. Puisi ini tidak menawarkan solusi instan, karena dalam kerangka Althusser, ideologi tidak runtuh oleh kesadaran semata. Namun, dengan membongkar ilusi hukum sebagai sesuatu yang netral dan adil, Alfariezie menjalankan fungsi penting sastra kritik: membuat pembaca sadar bahwa kegelapan bukan takdir, melainkan hasil konstruksi kekuasaan yang terus direproduksi.***





