SAIBETIK- Keheningan mencurigakan kembali menyelimuti Kejaksaan Tinggi Lampung usai sidang pra peradilan yang diajukan M. Hermawan Eriadi—salah satu direksi PT LEB yang kini mendekam di Lapas Way Huwi sejak 22 September 2025. Publik yang menunggu penjelasan resmi terpaksa gigit jari karena pihak kejaksaan memilih bungkam tanpa memberikan pernyataan apa pun.
“Nanti ya, lihat sesuai yang ada di dalam sidang,” ujar seorang perempuan utusan Kejati Lampung bernama Elva, Jumat, 28 November 2025. Ia irit bicara dan langsung menghindari pertanyaan lanjutan, membuat suasana semakin penuh tanda tanya.
Sidang pra peradilan yang digelar hari itu pun berlangsung super singkat — hanya sekitar 15 menit. Agendanya pun sebatas pemeriksaan kelengkapan berkas tanpa menyentuh substansi perkara atau tanggapan dari pihak kejaksaan. Situasi ini kian memantik spekulasi publik: ada apa sebenarnya di balik penanganan kasus PT LEB?
Di sisi lain, kuasa hukum M. Hermawan, yakni Ariadi Nurul dan Riki Martim yang datang dari Jakarta, mengaku sangat terkejut ketika mengetahui klien mereka disebut-sebut sebagai “role model” dalam penanganan kasus dana Participating Interest (PI) 10%.
Menurut Ariadi, penanganan kasus tipikor tidak boleh dilakukan dengan pendekatan eksperimental atau penunjukan sepihak. “Saya baru tahu hari ini soal berita itu. Setiap langkah hukum harus berdasar ketentuan, bukan asumsi,” tegasnya sebelum sidang dimulai.
Pernyataan Ariadi diperkuat oleh Riki Martim yang menyebut bahwa hingga saat ini Indonesia belum memiliki aturan baku mengenai tata kelola dana PI10%. Artinya, jika regulasinya saja belum ada, bagaimana mungkin kasus ini dijadikan contoh nasional?
“Iya benar. Belum ada aturannya. Itu faktanya,” ujar Riki saat berbincang usai wawancara. Ia menegaskan bahwa tanpa dasar regulasi, penetapan tersangka bisa dianggap tidak memiliki pijakan hukum yang jelas.
Hal ini kontras dengan pernyataan Aspidsus Armen Wijaya saat malam penetapan tiga direksi PT LEB sebagai tersangka. Saat itu, ia dengan mantap mengatakan bahwa kasus ini menjadi role model bagi pengelolaan dana PI10% di seluruh Indonesia. Namun hingga kini, belum ada penjelasan bagaimana landasan hukum dari klaim tersebut.
Ketika awak media mencoba meminta klarifikasi lebih jauh usai sidang, pihak Kejati Lampung langsung meninggalkan Pengadilan Negeri Tanjung Karang tanpa sepatah kata pun. Sikap diam ini justru mempertebal dugaan bahwa ada sesuatu yang belum siap atau sengaja tidak ingin diungkap ke publik.***






