SAIBETIK– Suasana lengang dan pagar sekolah yang rubuh menjadi pemandangan mencolok saat mengunjungi SD Negeri 3 Rejomulyo, Kecamatan Jati Agung, pada Sabtu (22/11) pukul 11.30 WIB. Tidak ada aktivitas belajar, tidak terdengar suara siswa, dan tidak ada guru yang terlihat. Yang tampak hanyalah pagar yang rusak dan seorang penjaga sekolah yang berada di ruang guru.
“Libur,” ujar penjaga sekolah singkat ketika ditanya mengapa sekolah tampak sepi meski bukan hari libur nasional maupun hari besar keagamaan.
Pemandangan ini kontras dengan aktivitas sekolah lain di wilayah Jati Agung. Di SMP Negeri 2, siswa terlihat sedang latihan baris-berbaris Pramuka, sementara beberapa SD lain masih menjalankan aktivitas pembelajaran seperti biasa. Ketidakhadiran guru dan siswa pada hari kalender aktif memunculkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat.
Kondisi sekolah yang kosong membuat upaya konfirmasi soal pagar sepanjang 3–5 meter yang rubuh menjadi semakin sulit. Tidak ada pihak sekolah yang dapat dimintai keterangan terkait penyebab kerusakan pagar, kemungkinan adanya dana revitalisasi, atau bagaimana manajemen sekolah mengatasi kebutuhan perawatan aset negara tersebut.
Informasi yang diperoleh dari beberapa kepala sekolah lain menyebut bahwa penanggung jawab SDN 3 Rejomulyo adalah seseorang bernama Sigit. Namun mereka menjelaskan bahwa jumlah murid di SD itu memang sangat sedikit.
“Paling-paling muridnya enggak sampai seratus. Ya kalau libur, wajarlah. Sekolah itu kan di tengah perkebunan,” kata salah satu kepala sekolah negeri di kecamatan tersebut.
Meski demikian, alasan tersebut tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk meliburkan sekolah di hari aktif tanpa keterangan resmi. Menurut petunjuk teknis pendidikan, kebijakan meliburkan siswa tidak bisa sembarangan dan harus berdasarkan prosedur yang jelas.
“Ya libur, karena mungkin sekolah itu kan di tengah luasnya perkebunan,” tambahnya, namun tanpa penjelasan administratif yang dapat dipertanggungjawabkan.
SDN 3 Rejomulyo memang berada di kawasan Trikora PT Perkebunan Negara, namun letak geografis seharusnya tidak menjadi alasan utama meliburkan siswa tanpa pemberitahuan publik. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar dari para orang tua dan pemerhati pendidikan terkait transparansi dan manajemen pengelolaan sekolah tersebut.
Selain masalah libur mendadak, pagar rubuh yang tidak segera diperbaiki juga menambah kekhawatiran masyarakat. Publik mempertanyakan apakah sekolah menerima alokasi dana revitalisasi, bagaimana pengawasan terhadap sarana prasarana dilakukan, serta bagaimana pertanggungjawaban sekolah atas kerusakan fasilitas negara.
Hingga artikel ini diterbitkan, pihak sekolah masih sulit dihubungi dan upaya konfirmasi terus diusahakan.***








