SAIBETIK– Dunia pendidikan Bandar Lampung diguncang kontroversi setelah Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Bandar Lampung, Eka Afriana, masuk pusaran skandal yang memicu kritik tajam dari kalangan guru dan masyarakat. Menjabat untuk periode 2024-2025, nama Eka Afriana kini kerap muncul dalam sorotan negatif yang memengaruhi citra organisasi guru tertua di kota ini.
Kontroversi mencuat pada Juli-Agustus 2025 ketika Eka Afriana dilaporkan ke Polda Lampung atas dugaan pemalsuan identitas. Kasus yang berlarut-larut ini mendorong Forum Muda Lampung melaporkan Polda ke Mabes Polri, bahkan membawa kasus ini ke perhatian Dirjen Kemendagri. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius terkait integritas seorang pemimpin PGRI yang seharusnya menjadi simbol perjuangan guru dalam mempertahankan martabat dan hak-haknya.
Sejak berdirinya PGRI pada 1912, organisasi ini dikenal sebagai garda terdepan memperjuangkan hak guru dan membangun kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, langkah Eka Afriana justru dianggap jauh dari semangat tersebut. Sebagai Plt Disdikbud dan Asisten Setda Pemkot Bandar Lampung, dia terus menjadi sorotan atas keputusan dan tindakan yang dianggap kontroversial.
Sorotan terbaru terkait SMA Swasta Siger di Bandar Lampung, yang tercatat sebagai sekolah milik Eka Afriana. Walaupun Wali Kota menyatakan sekolah ini menggratiskan biaya pendidikan, kenyataannya SMA Siger dilaporkan ke Polda Lampung atas dugaan pelanggaran undang-undang perlindungan anak, UU Sisdiknas, dan Permendagri terkait pinjam pakai aset negara. Selain itu, sekolah ini belum terdaftar dalam dapodik Kemendikbud, dan gaji guru honor belum dibayarkan selama berbulan-bulan. Bahkan praktik jual beli modul kepada siswa dari keluarga pra sejahtera menimbulkan kritik tajam karena dianggap memberatkan peserta didik.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar terkait perlakuan khusus yang diterima Eka Afriana dari sejumlah pihak, termasuk dukungan dari Ketua Komisi 4 dan pimpinan DPRD Bandar Lampung dalam penganggaran sekolah. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa ada kebijakan yang menguntungkan secara eksklusif pihak tertentu, sementara guru honor dan peserta didik menjadi pihak yang dirugikan.
Selain persoalan finansial dan administrasi sekolah, dugaan pelanggaran integritas juga mencuat terkait pemalsuan identitas dan kepemilikan aset. Hal ini bahkan berpotensi menjerat pejabat lain, termasuk Kepala SMP Negeri 38 dan 44 Bandar Lampung, karena belum jelasnya dokumen BAST terkait pinjam pakai aset pemerintah untuk kepentingan sekolah swasta ini.
Masyarakat pendidikan Bandar Lampung kini menaruh skeptisisme terhadap masa depan pendidikan di kota ini. Bagaimana generasi penerus dapat tumbuh bermartabat dan berpihak pada kepentingan nasional jika pimpinan organisasi guru sendiri lalai dalam integritas dan tanggung jawab? Praktik yang tidak transparan dan berulang kali terjadi kejanggalan administrasi membuat publik mempertanyakan kredibilitas PGRI sebagai organisasi yang seharusnya memperjuangkan hak dan kesejahteraan guru.
Skandal yang menjerat Ketua PGRI ini bukan sekadar persoalan internal organisasi, melainkan menjadi isu publik yang berdampak pada citra pendidikan Kota Bandar Lampung. Publik menuntut klarifikasi lengkap dan tindakan tegas agar integritas guru dan pendidikan tetap terjaga, serta agar generasi muda dapat memperoleh pendidikan yang adil, transparan, dan berkualitas.
Dengan segala kontroversi ini, pertanyaan besar tetap mengemuka: Apakah warga Bandar Lampung dan masyarakat pendidikan akan terus membiarkan praktik kelalaian dan potensi penyalahgunaan jabatan terjadi tanpa klarifikasi yang memadai? Integritas dan akuntabilitas seharusnya menjadi fondasi bagi setiap pemimpin PGRI dan penyelenggara pendidikan.***





