SAIBETIK- Kasus penarikan paksa mobil Mitsubishi Pajero milik keluarga Ivin Aidiyan Firnandes memasuki babak baru. Bukan hanya soal penyitaan kendaraan yang diduga dilakukan tanpa prosedur, keluarga korban kini melaporkan dugaan serius: kebocoran data pribadi oleh perusahaan pembiayaan BCF. Laporan tersebut telah diserahkan ke Polda Lampung dan resmi tercatat dengan nomor STTLP/B/838/XI/2025/SPKT/POLDA LAMPUNG.
Laporan ini menjerat empat pihak sekaligus, yaitu debt collector berinisial AS, dua pegawai BCF berinisial T dan R, serta BCF sebagai korporasi. Keluarga menilai semua pihak terlibat dalam rangkaian tindakan yang merugikan dan melanggar hukum, mulai dari penarikan paksa kendaraan hingga pembukaan data pribadi tanpa izin.
Menurut keterangan Ivin, peristiwa berawal pada Jumat, 26 September 2025. Mobil Pajero bernomor polisi BE 88 NF yang digunakan suami kakaknya saat pulang dari salat Jumat tiba-tiba dicegat oleh kelompok pria yang mengaku sebagai petugas penagihan. Penyergapan itu terjadi di kawasan Airan Raya dan berlangsung secara memaksa.
“Mobil itu dipakai suami kakak saya untuk salat Jumat. Saat mau pulang, mereka dicegat dan langsung dipaksa menyerahkan kendaraan. Terjadi keributan karena mereka memaksa tanpa menunjukkan surat penarikan atau dasar hukum apa pun,” ungkap Ivin.
Karena menolak menyerahkan kendaraan, keluarga akhirnya dibawa oleh para penagih ke halaman Mapolda Lampung untuk melakukan mediasi. Namun, pertemuan dengan perwakilan BCF, Ahmad Saidar, tidak menghasilkan solusi apa pun.
“Mereka bilang mobil harus dibawa, titik. Tidak ada kompromi. Saya bahkan sempat diancam akan dilaporkan dengan Pasal 480 KUHP. Ini tidak masuk akal,” tegasnya.
Namun masalah tidak berhenti di sana. Beberapa hari setelah kejadian, keluarga Ivin mendapatkan informasi bahwa data pribadi kakaknya, NF, selaku debitur, ternyata dipajang dalam sebuah konferensi internal yang digelar pihak debt collector. Fotokopi KTP, data kredit, dan informasi sensitif lainnya ditampilkan tanpa izin.
“Ternyata data pribadi kakak saya disebarkan. Kami dapat bukti bahwa data itu ditampilkan dalam sebuah kegiatan mereka. Ini jelas pelanggaran berat dan tidak bisa ditoleransi,” kata Ivin dalam konferensi pers, Kamis, 13 November 2025.
Keluarga menilai tindakan BCF secara terang-terangan melanggar Peraturan OJK Nomor 22 Tahun 2023 — mulai dari kerja sama penagihan, tata cara penarikan agunan, hingga kewajiban menjaga kerahasiaan data konsumen.
Dalam aturan tersebut, penarikan agunan hanya dapat dilakukan dengan dua cara: penyerahan sukarela atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun, mobil mereka justru diambil paksa tanpa dasar yang sah.
Selain itu, pemberian kuasa penarikan kepada pihak ketiga seperti AS dilarang oleh regulasi OJK. Apalagi, data debitur tidak boleh dibagikan tanpa persetujuan tertulis, dan pelanggaran ini dapat dikenai sanksi administrasi hingga pidana.
“Kalau aturannya jelas melarang, kenapa perusahaan masih memberanikan diri melakukan praktik seperti ini? Mereka melanggar prosedur, memakai pihak ketiga ilegal, dan memamerkan data konsumen,” ujar Ivin.
Keluarga berharap laporan ke Polda Lampung ini menjadi langkah awal untuk menindak tegas praktik penarikan paksa yang merugikan banyak masyarakat. Mereka juga meminta agar kebocoran data pribadi mendapatkan perhatian khusus dari aparat penegak hukum, mengingat dampaknya bisa membahayakan keamanan dan privasi konsumen.
“Kami tidak ingin ada lagi masyarakat yang dipermalukan, ditakut-takuti, atau dirugikan seperti keluarga kami. Ini harus dihentikan,” tutup Ivin.
Kasus ini kini dalam proses penyelidikan Polda Lampung. Masyarakat menunggu langkah tegas kepolisian dan regulator untuk memastikan perlindungan konsumen benar-benar ditegakkan.***










