SAIBETIK- SMA Siger Bandar Lampung kini jadi pusat perhatian publik setelah mencuat dugaan konflik kepentingan dan penyalahgunaan aset pemerintah. Di balik janji manis “pendidikan gratis untuk warga pra sejahtera”, muncul tanda tanya besar: apakah benar sekolah ini milik Pemkot, atau justru milik pribadi para pejabat yang sedang berkuasa?
Kisah ini bermula dari pernyataan salah satu ketua komisi DPRD Kota Bandar Lampung yang menyebut SMA Siger sebagai sekolah milik pemerintah kota. Bahkan Wali Kota Eva Dwiana sempat menegaskan, seluruh biaya pendidikan sekolah ini ditanggung oleh Pemkot. Dalam unggahan media sosialnya, Eva terlihat menyiapkan aset pemerintah, termasuk gedung SMP Negeri 38 dan 44, sebagai lokasi sementara kegiatan belajar-mengajar, dan merencanakan penggunaan Terminal Panjang sebagai lokasi permanen.
Namun fakta di lapangan berbicara lain. Berdasarkan dokumen yang beredar, SMA Siger ternyata berada di bawah naungan Yayasan Siger Prakarsa Bunda — bukan lembaga milik pemerintah. Ironisnya, para pendiri yayasan ini bukan orang sembarangan. Mereka adalah pejabat aktif di lingkungan Pemkot Bandar Lampung: Eka Afriana (Plt Kadisdikbud dan Asisten Pemkot), Dr. Khaidarmansyah (eks Sekda dan eks Kepala Bappeda), Satria Utama (Plt Kasubag Aset dan Keuangan Disdikbud), Didi Bianto, dan Drs. Suwandi Umar. Kelima nama tersebut tercatat dalam akta notaris pendirian yayasan pada 31 Juli 2025.
Sekjend Laskar Lampung, Panji Padang Ratu, menyebut situasi ini sebagai bentuk nyata konflik kepentingan. Ia menilai Pemkot memfasilitasi sekolah swasta yang justru dikelola oleh pejabatnya sendiri. “Ini bukan hanya soal moralitas, tapi soal hukum. Kalau aset negara digunakan tanpa dasar hukum yang sah, itu bisa masuk ke ranah pidana,” ujarnya dengan tegas pada 11 November 2025. Panji juga memperingatkan DPRD agar menjalankan fungsi pengawasan, agar aset publik tidak berubah menjadi milik pribadi segelintir elit birokrat.
Kritik serupa datang dari praktisi hukum Hendri Adriansyah SH, MH. Ia menegaskan, penggunaan aset negara tanpa dokumen pinjam pakai resmi (BAST) melanggar Permendagri Nomor 7 Tahun 2024, dan bisa berimplikasi pada Pasal 372 dan 480 KUHP tentang penggelapan dan penadahan. “Kalau enggak ada dokumen resmi, itu sudah indikasi pidana. Siapa pun yang terlibat bisa kena, termasuk kepala sekolahnya,” tegas Hendri.
Dugaan pelanggaran semakin kuat ketika diketahui bahwa SMA Siger belum memiliki izin resmi dari Dinas Pendidikan dan DPSPTMP Provinsi Lampung. Namun, anehnya, DPRD justru memberi apresiasi saat melakukan sidak pada Juli 2025, dengan alasan sekolah tersebut membantu siswa pra sejahtera. Padahal, di lapangan, siswa tetap diminta membeli modul pelajaran senilai Rp15.000 per mata pelajaran. “Gratis, tapi modul harus beli,” ungkap salah satu siswi SMA Siger 2 di Way Halim.
Situasi ini menimbulkan kekecewaan besar di kalangan masyarakat dan aktivis pendidikan. Banyak yang menilai program pendidikan gratis yang dikampanyekan Pemkot hanyalah kedok politik yang membebani masyarakat kecil. Lebih jauh, muncul dugaan bahwa aliran dana APBD digunakan untuk kepentingan pribadi dan memperkuat citra politik penguasa.
Penggiat kebijakan publik, Abdullah Sani, akhirnya melaporkan kasus ini ke Polda Lampung. Laporan resmi diterima oleh Unit 3 Subdit 4 Tipidter pada 3 November 2025, disertai dokumen akta notaris yayasan yang dibuat setelah pendaftaran siswa baru dilakukan. Artinya, kegiatan operasional sekolah sudah berjalan sebelum legalitasnya lengkap — indikasi pelanggaran administratif yang serius.
Kasus SMA Siger menjadi potret suram wajah pendidikan di daerah. Ketika pejabat publik justru terlibat dalam pendirian lembaga swasta yang menggunakan fasilitas pemerintah, publik wajar curiga bahwa pendidikan dijadikan alat politik dan ekonomi. Kini, masyarakat menunggu langkah tegas DPRD dan aparat penegak hukum untuk menuntaskan persoalan ini secara transparan. Sebab, pendidikan bukan ladang kepentingan, melainkan hak rakyat yang harus dijaga dari segala bentuk manipulasi dan penyalahgunaan wewenang.***







