SAIBETIK- Masalah keadilan pendidikan di Indonesia kembali memanas. Beberapa provinsi, termasuk Jawa Barat dan Lampung, menjadi sorotan karena kebijakan pendidikan yang dianggap merugikan sekolah swasta dan lembaga pendidikan masyarakat. Protes dan tuntutan keadilan pendidikan muncul sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan yang dinilai diskriminatif dan tidak berpihak pada pendidikan rakyat.
Di Jawa Barat, lebih dari lima organisasi sekolah swasta tingkat SMA menggugat Gubernur Dedi Mulyadi yang juga kader Partai Gerindra. Gugatan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung terkait kebijakan rombongan belajar (rombel) yang menetapkan 50 siswa per kelas. Para kepala sekolah menilai kebijakan tersebut tidak memperhatikan kapasitas kelas dan kualitas belajar, sehingga sekolah swasta menjadi korban dalam persaingan mendapatkan siswa. Banyak sekolah swasta menilai kebijakan ini merugikan mereka karena sekolah negeri secara otomatis menerima mayoritas lulusan SMP, sementara sekolah swasta hanya tersisa sedikit siswa untuk direkrut.
Di Lampung, sorotan tidak kalah panas. Kepala sekolah swasta mengeluhkan kepemimpinan Rahmat Mirzani Djausal, Gubernur Lampung dan kader Gerindra, yang dinilai mengabaikan eksistensi Lembaga Pendidikan Masyarakat (LPM). Banyak kepala sekolah menyebut, kebijakan yang diterapkan cenderung “mematikan” sekolah swasta dan LPM. SMA dan SMK negeri di Lampung menerima lebih dari 12.000 lulusan SMP tanpa memperhatikan ekuilibrium kapasitas kelas dan rombel, sementara hanya sekitar 2.000 alumni SMP yang menjadi rebutan ratusan sekolah swasta.
Kekhawatiran sekolah swasta bertambah ketika pemerintah daerah membiarkan Wali Kota Bandar Lampung menyalahi regulasi dengan menyelenggarakan SMA Siger, yang statusnya masih ilegal. Sekolah ini memanfaatkan APBD untuk operasionalnya, sementara sekolah swasta tidak mendapatkan dukungan dana, termasuk subsidi Bosda atau BOP pada tahun 2025-2026. Kondisi ini memicu kecemasan dan ketidakpastian bagi sekolah swasta yang setia melayani masyarakat.
Gelombang protes juga datang dari guru. Gerakan Guru Anti Diskriminasi (Granad) Indonesia telah mengumumkan rencana pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Agama, hingga Kementerian Keuangan pada 30 Oktober 2025. Mereka menuntut agar guru swasta dan guru di madrasah diangkat menjadi ASN melalui skema P3K, serta segera mendapatkan pembayaran inpassing yang tertunda. Selain itu, Granad meminta pemerintah mempercepat proses sertifikasi dan inpassing sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan.
Protes ini bukan sekadar soal status atau gaji. Ini adalah soal martabat pendidikan Indonesia dan keadilan bagi lembaga pendidikan swasta yang telah lama berkontribusi untuk mencerdaskan bangsa. Pertanyaannya kini menjadi sorotan publik: apakah pemerintahan Prabowo–Gibran akan menegakkan keadilan pendidikan secara menyeluruh tanpa memandang afiliasi politik atau kepentingan birokrasi?
Dari sisi publik, perhatian terhadap kebijakan pendidikan ini semakin meningkat. Masyarakat menilai, jika sekolah swasta dan LPM terus terpinggirkan, maka kualitas pendidikan dan pemerataan akses pendidikan di Indonesia akan semakin terancam. Saat ini, berbagai organisasi masyarakat sipil dan komunitas guru berencana mengawal kebijakan ini hingga ke tingkat nasional, menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan.***