SAIBETIK– Polemik kasus dugaan korupsi Participating Interest (PI) 10% di PT Lampung Energi Berjaya (PT LEB) semakin tajam setelah politisi senior Lampung, Ferdi Gunsan, melontarkan kritik keras terhadap langkah Kejati Lampung. Pernyataan itu muncul usai Kejati resmi menahan tiga direksi PT LEB pada Senin malam, 22 September 2025.
Aspidsus Kejati Lampung, Armen Wijaya, dalam konferensi pers menegaskan bahwa dana PI 10% dari pengelolaan migas senilai 17,28 juta dolar AS atau sekitar Rp271 miliar menjadi dasar perkara ini. Dana tersebut, kata Armen, seharusnya dapat menjadi role model transparansi pengelolaan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari sektor migas di seluruh Indonesia.
Namun, Ferdi Gunsan langsung membantah klaim tersebut dengan data berbeda. Menurutnya, PT LEB tidak menerima penuh 10% PI sebagaimana disebutkan Kejati. Faktanya, Lampung hanya mendapatkan setengah dari jatah itu. “Benar sesuai Permen ESDM memang 10%, tapi ini dibagi dua antara BUMD LEB dan BUMD Jakarta pada masa Gubernur Anies Baswedan. Jadi PT LEB hanya menerima 5%,” tegas Ferdi pada Selasa, 23 September 2025.
Pernyataan Ferdi ini memunculkan pertanyaan besar soal dasar perhitungan kerugian negara. Ia menyebut, jika benar PI 10% bernilai 34 juta dolar AS, maka angka yang dirilis Kejati tidak akurat. “Itu perlu dikoreksi. Kalau 10% nilainya 34 juta dolar, bukan 17 juta. Kalau yang diterima LEB hanya 5%, berarti wajar nilainya setengah dari itu. Jadi patut dipertanyakan, sebenarnya Kejati menindak siapa?” ujarnya.
Ferdi menyoroti adanya ketidakadilan dalam proses hukum yang dilakukan Kejati Lampung. Ia menuding penegak hukum seolah hanya menyasar PT LEB tanpa menyentuh pihak BUMD DKI Jakarta yang juga ikut menikmati pembagian PI tersebut. “Mengapa BUMD DKI Jakarta tidak diperiksa? Kenapa hanya PT LEB yang direksinya sampai ditahan? Padahal mereka sama-sama mendapat jatah,” kritiknya.
Lebih jauh, Ferdi menekankan bahwa penanganan kasus ini harus dilakukan secara menyeluruh, bukan parsial. Jika benar ingin dijadikan role model nasional, menurutnya, maka Kejati wajib membuka data secara transparan, mulai dari besaran PI yang masuk, pembagian ke BUMD lain, hingga aliran dana ke pemerintah daerah. Tanpa itu semua, ia khawatir langkah hukum ini hanya menimbulkan kesan tebang pilih dan mencari kambing hitam.
“Kalau transparansi tidak ada, publik bisa menilai penanganan ini tidak objektif. Jangan sampai Lampung dikorbankan sementara Jakarta yang juga terlibat dibiarkan begitu saja. Itu jelas tidak adil,” tegasnya.
Kasus PI 10% ini sejak awal memang menuai kontroversi. Selain nilai fantastis yang mencapai ratusan miliar, keberadaan aturan pembagian antara BUMD provinsi penghasil migas dan BUMD provinsi lain kerap menimbulkan perdebatan. Ferdi menilai, persoalan fundamental inilah yang seharusnya diperhatikan Kejati, bukan hanya sekadar menghukum sebagian pihak.
Kini, publik menunggu apakah Kejati Lampung akan merespons kritik tajam Ferdi Gunsan dengan membuka data secara transparan, atau justru tetap melanjutkan proses hukum dengan skema yang dianggap timpang.***