SAIBETIK- Skandal pendidikan di Kota Bandar Lampung kembali menyita perhatian publik. Kali ini sorotan tertuju pada dua kader wanita yang duduk di kursi strategis DPRD, Hetty Friskatati dari Partai Golkar dan Mayang Suri Djausal dari Partai Gerindra. Keduanya memilih bungkam di tengah ramainya polemik terkait SMA Swasta Siger yang disebut sebagai “SMA Hantu” bentukan kebijakan wali kota.
Diamnya kedua politisi ini menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, mereka memiliki posisi penting di Komisi 4 DPRD Bandar Lampung, lembaga yang seharusnya berada di garda depan mengawasi dan mengontrol kebijakan di sektor pendidikan. Namun sejak 10 hingga 14 September 2025, keduanya enggan menanggapi pertanyaan soal aliran dana APBD yang mengalir ke sekolah ilegal tersebut.
Posisi Mayang Suri dan Hetty Friskatati
Mayang Suri Djausal baru saja naik sebagai Ketua Fraksi Gerindra, menggantikan Asroni Paslah. Ia juga merupakan adik dari Gubernur Lampung sekaligus Ketua DPD Gerindra Lampung, Rahmat Mirzani Djausal. Sementara Hetty Friskatati sudah lama dikenal sebagai politisi perempuan Golkar yang aktif di DPRD. Namun dalam isu besar ini, keduanya sama-sama memilih senyap.
Publik bertanya-tanya, apakah sikap bungkam ini hanya strategi politik, atau ada hal lain yang sengaja ditutupi? Mengingat SMA Siger terbukti tidak memiliki legalitas dari Kemendikbudristek, tidak terdaftar di Dapodik, dan tetap saja mendapat kucuran dana dari APBD Bandar Lampung.
Sekolah Ilegal, Anggaran Resmi
SMA Siger bukan hanya sekadar sekolah swasta biasa. Keberadaannya dianggap melanggar sedikitnya sembilan aturan hukum, mulai dari UU Sistem Pendidikan Nasional, PP tentang Pengelolaan Pendidikan, hingga sejumlah Perda dan Perwali. Namun anehnya, sekolah ini tetap mendapat dukungan penuh dari kebijakan wali kota.
Di sisi lain, sekolah-sekolah swasta resmi di Lampung justru semakin terjepit. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, sudah menegaskan bahwa tahun ini Bosda hanya diberikan untuk sekolah negeri. Tahun depan pun belum ada kepastian soal bantuan operasional untuk SMA/SMK swasta.
Praktisi pendidikan M. Arief Mulyadin menyebut kebijakan Pemkot ibarat memberikan karpet merah untuk sekolah liar. Hal ini dinilai mencederai rasa keadilan dan memperburuk ketimpangan antar lembaga pendidikan.
Lemahnya Fungsi DPRD
Dalam kondisi seperti ini, DPRD seharusnya hadir membela kepentingan rakyat. Namun diamnya Hetty dan Mayang justru memperlihatkan lemahnya fungsi pengawasan legislatif. Bahkan isu SMA Hantu ini sudah sampai ke Komisi 5 DPRD Provinsi Lampung dan Gubernur, namun respons yang muncul juga minim.
Padahal, persoalan ini bukan hanya tentang satu sekolah ilegal. Lebih jauh, skandal ini adalah potret nyata bobroknya tata kelola pendidikan di daerah yang berpotensi merugikan banyak pihak.
Publik Berhak Mendapat Jawaban
Masyarakat kini berhak mempertanyakan, mengapa ada sekolah ilegal yang justru mendapat perlakuan istimewa? Mengapa dua politisi wanita yang duduk di kursi strategis DPRD justru memilih diam? Apakah ada kepentingan politik atau jaringan kekuasaan yang sedang bermain di balik kebijakan The Killer Policy ini?
Ancaman Serius bagi Pendidikan
Skandal SMA Hantu Siger menjadi ancaman nyata bagi keadilan pendidikan di Lampung. Ketika sekolah-sekolah swasta resmi berjuang tanpa sokongan, justru sekolah ilegal diberi dukungan penuh. Jika DPRD tetap menutup mata, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya.
Diamnya Hetty Friskatati dan Mayang Suri Djausal dalam kasus ini bukan sekadar pilihan politik. Bagi masyarakat, sikap bungkam itu menjadi simbol lemahnya transparansi, runtuhnya fungsi kontrol, dan pudarnya keberanian legislatif dalam menghadapi skandal besar pendidikan.***