SAIBETIK– Malam kedua Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII kembali memukau penonton dengan deretan penampilan penyair dari berbagai negara. Digelar pada Jumat (12/9/2025) pukul 19.30 WIB, acara dibuka dengan Orasi Budaya oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno. Dalam orasinya, pemeran legendaris Doel dalam sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” itu menegaskan bahwa Jakarta selalu menjadi kota terbuka, tempat orang datang, menetap, atau sekadar singgah, namun tetap membawa kenangan yang tak terlupakan.
Setelah pembukaan, panggung sastra langsung dipenuhi energi. Penyair-penyair dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, hingga Thailand naik satu per satu menyuguhkan karya mereka. Nama-nama besar seperti Fakhrunnas MA Jabbar, Ulfatin Ch., Fikar W Eda, Eddy Pranata PNP, Joshua Igho, Awwabin Helmi (Thailand), Ratna Ayu Budiarti, Suyadi San, Wan Nuryani (Malaysia), Nun Wai Ha (Thailand), hingga Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal turut memberi warna dalam malam yang penuh semangat kebersamaan itu.
Namun, penampilan yang mencuri perhatian publik malam itu datang dari penyair asal Lampung, Isbedy Stiawan ZS. Membacakan puisi bertajuk “Tungku di Jalan Raya”, Isbedy tampil dengan totalitas penuh hingga membuat ruangan bergemuruh tepuk tangan. Puisi yang menggambarkan gelora protes dan api perjuangan di jalan raya itu dibawakan dengan energi yang menyalakan emosi penonton.
Penyair Eddy Pranata bahkan mengunggah foto Isbedy di akun Facebook pribadinya, menuliskan komentar penuh kekaguman: “Totalitas Isbedy Stiawan ZS pada Tungku di Jalan Raya sangat luar biasa. Isbedy membacakan puisi yang menggambarkan unjuk rasa di jalan itu dengan total.” Menurut Eddy, yang juga dikenal dengan komunitas Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggiran Kali), sambutan hangat penonton terlihat sejak Isbedy berjalan menuju mikrofon hingga ia menutup pembacaannya.
Hal senada disampaikan penyair senior asal Palembang, Anwar Putra Bayu. Menurutnya, panggung dan Isbedy adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. “Setiap kali Isbedy naik panggung, yang hadir bukan hanya pembacaan puisi, tapi juga pengalaman batin. Puisinya memang marah atas kondisi masyarakat, tetapi tetap dibalut dengan tembang yang tenang dan menyentuh,” ujar Bayu, Ketua Satiupena Sumsel.
Sayangnya, setelah penampilan Isbedy, jalannya acara sedikit berubah. Panitia mulai memanggil dua hingga tiga penyair sekaligus naik ke panggung. Hal ini, menurut sebagian penonton, justru mengurangi kekuatan totalitas setiap penampilan. “Yang belum tampil jadi terbebani, sementara yang sedang membaca tak lagi bisa mengekspresikan puisinya secara penuh,” ujar seorang pengunjung yang kecewa dengan pengaturan waktu.
Penonton itu menilai, seharusnya panitia lebih cermat menghitung durasi setiap penampilan. “Cukup satu puisi saja agar semua punya kesempatan setara. Lihat saja Sanggar Matahari, meski hanya membawakan satu puisi, mereka tetap mampu menorehkan kesan mendalam. Padahal, kita tahu, Sanggar Matahari adalah salah satu komunitas musikalisasi puisi terbaik di Indonesia,” lanjutnya.
Meski sempat ada kritik pada teknis acara, Malam Panggung Penyair PPN XIII tetap meninggalkan kesan mendalam. Kehadiran Isbedy Stiawan ZS dengan “Tungku di Jalan Raya” seolah menegaskan bahwa puisi bukan hanya sekadar rangkaian kata, melainkan suara nurani yang membakar semangat penonton. Totalitasnya malam itu menjadi bukti bahwa Lampung masih melahirkan penyair-penyair besar yang layak mendapat panggung di tingkat nusantara.***