SAIBETIK – Dunia sastra kontemporer Indonesia kembali menampilkan karya kritis yang memadukan humor, ironi, dan refleksi sosial. Tulisan satir berjudul “Walikota Stand Up Comedy” karya penyair asal Bandar Lampung, Muhammad Alfariezie, muncul sebagai bentuk kritik realism-politik yang dibungkus dengan gaya jenaka dan mudah dicerna.
Karya ini menyoroti inkonsistensi kepemimpinan di tingkat daerah, khususnya wali kota Bandar Lampung, dengan menggunakan metafora stand up comedy. Penulis menampilkan wali kota layaknya seorang komedian yang sering “lupa materi” saat tampil di panggung, mengungkapkan paradoks antara peran seorang pemimpin dan kenyataan yang terjadi di lapangan. Metafora ini bukan sekadar humor, tetapi simbol dari seorang pejabat publik yang kerap tidak konsisten menjalankan aturan yang dibuatnya sendiri.
Walikota Stand Up Comedy
Di Bandar Lampung, Wali kota
mungkin seperti stand up comedian
Lucu karena sering lupa materi
ketika open mic
Ya.. Walau tidak bertingkah
seekstrem Ebel Cobra
tapi jenaka
Dia sering lupa peraturan
yang dibuat sendiri (perwali), waduh
Wali kota macam apa anda? Apa
lagi materinya jerat korupsi
Lucu namun kasihan anak-anak negeri
karena yang mereka pilih wali kota
stand up comedy yang pula sering lupa
materi
Dan jodohnya kita tertawa dalam untai
inkonsistensi regulasi
Gaya dan Struktur
Alfariezie menggunakan struktur liris dan puisi bebas, dengan kalimat pendek dan repetitif yang menciptakan ritme tersendiri. Pengulangan frasa “lupa materi” menekankan dualitas antara lucu dan tragis, menegaskan kritik tanpa harus menyampaikan tuduhan secara langsung. Teknik ini memperlihatkan bagaimana satir dapat bekerja efektif: kritik sosial disampaikan melalui permainan bahasa yang cerdas, sehingga memikat sekaligus menggugah pembaca.
Selain itu, penggunaan bahasa sehari-hari yang dekat dengan pembaca urban dan generasi muda membuat karya ini mudah diterima. Stand up comedy sebagai bingkai kritis menambahkan dimensi budaya populer yang relevan dengan pengalaman pembaca modern, khususnya mereka yang terbiasa dengan humor digital dan konten media sosial.
Tema dan Kritik Sosial
Tema utama tulisan ini adalah inkonsistensi regulasi dan kepemimpinan yang tidak efektif. Penulis menyinggung “materi korupsi” sebagai bahan lawakan, menekankan ironi sosial: hal yang seharusnya tragis justru menjadi bahan tawa. Hal ini memunculkan refleksi tentang bagaimana masyarakat, terutama generasi muda, dihadapkan pada kenyataan politik yang absurd dan harus menyesuaikan diri melalui mekanisme bertahan, yaitu humor.
Karya ini juga menyentuh dimensi psikologis publik. Anak-anak negeri, yang seharusnya mendapat perlindungan dan kepemimpinan yang konsisten, malah dihadapkan pada figur yang lebih sibuk melucu daripada menjalankan amanah. Humor di sini bukan sekadar hiburan, melainkan medium untuk menyampaikan kegelisahan sosial dan membangkitkan kesadaran kritis pembaca terhadap realitas politik.
Posisi dalam Tradisi Sastra Indonesia
Satir politik memiliki akar kuat dalam sastra Indonesia. W\.S. Rendra, melalui Sajak Pertemuan Mahasiswa, menggunakan ironi untuk menyingkap wajah kekuasaan. Goenawan Mohamad melalui Catatan Pinggir mengembangkan kritik reflektif yang halus namun tajam. “Walikota Stand Up Comedy” berdiri dalam tradisi yang sama, namun hadir dengan pendekatan lebih ringan, populer, dan jenaka.
Jika Rendra sering memakai metafora alam dan tragedi, Alfariezie memilih budaya populer sebagai medium kritiknya. Pendekatan ini membuat karya lebih dekat dengan pembaca urban dan generasi muda, serta relevan dengan fenomena digitalisasi humor yang kini menjadi bahasa sehari-hari masyarakat modern.
Dampak dan Relevansi
Tulisan ini bukan sekadar hiburan atau kritik biasa. Ia menjadi alat edukatif untuk menstimulasi diskusi publik tentang kepemimpinan, regulasi, dan tanggung jawab sosial. Dengan membungkus kritik dalam bentuk satir, karya ini mampu menjangkau pembaca yang mungkin enggan membaca opini politik formal. Humor menjadi jembatan untuk memahami realitas sosial, sekaligus mendorong pembaca untuk lebih kritis dalam menilai figur publik.
“Walikota Stand Up Comedy” merupakan contoh satir modern yang menggabungkan humor, ironi, dan kritik sosial dengan gaya liris dan mudah diakses. Estetika karya ini terletak pada kemampuannya membalik tragedi menjadi komedi, sambil menyodorkan potret buram kepemimpinan daerah. Karya ini dapat dibaca sebagai opini politik, tetapi lebih dari itu, ia merupakan bagian dari sastra kritik sosial kontemporer Indonesia yang relevan, menghibur, dan mendidik pembaca untuk berpikir kritis tentang realitas yang mereka hadapi.***