SAIBETIK- Penyair muda Lampung, Muhammad Alfariezie, kembali mencuri perhatian publik dengan karyanya yang penuh kritik sosial dan politik. Setelah sukses menerbitkan novel berjudul Rumah Darah, kini ia menyalurkan kegelisahannya terhadap kebijakan pemerintah melalui puisi kontemporer yang menohok, provokatif, dan sarat makna. Karya terbarunya tidak hanya sebagai ekspresi artistik, tetapi juga sebagai seruan moral dan panggilan kesadaran bagi masyarakat agar lebih kritis terhadap kepemimpinan lokal.
Saat Wali Kota Lupa Membaca Undang-Undang
Puisi ini diawali dengan pertanyaan retoris yang menantang akal sehat pembaca:
“Seburuk apa wali kota kita berpikir sehingga remaja miskin terjerumus sekolah hantu?”
Pertanyaan ini bukan sekadar mencari jawaban, melainkan sebuah sindiran tajam yang menggugah rasa ingin tahu sekaligus kemarahan pembaca. Alfariezie menggunakan pertanyaan retoris untuk menekankan absurditas kebijakan pemerintah, khususnya terkait pendidikan, yang dinilainya tidak berpihak pada kelompok rentan.
Puisi ini juga sarat dengan metafora ekstrem dan simile yang menohok. Pemimpin digambarkan melalui perbandingan yang tak biasa: zombie, anak kecil penggila game online, hingga bayi yang secara implisit mencerminkan ketidakmampuan berpikir kritis dan tanggung jawab yang lemah. Misalnya:
“Tidak lebih buruk dari zombie…”
“Kacau dari anak kecil penggila game online…”
“Kalah dengan bayi karena nalarnya menerobos aturan sendiri”
Metafora ini tidak hanya menghadirkan efek komikal, tetapi juga menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan yang menyesatkan dan berpotensi merugikan generasi muda.
Selain itu, puisi ini mengandalkan hiperbola untuk menekankan dampak buruk kebijakan yang dimaksud. Ungkapan seperti “…berteriak hingga kita tercengang” memperkuat urgensi pesan yang disampaikan dan membuat pembaca merasakan intensitas peringatan yang dimaksud oleh penyair.
Penggunaan ironi dan satir juga menjadi senjata utama Alfariezie. Humor getir dan sindiran halus menjadikan puisi ini lebih mudah diterima sekaligus menggugah emosi pembaca. Misalnya, menyamakan pejabat dengan bayi atau zombie menimbulkan efek kontras yang tajam antara ekspektasi publik dan kenyataan yang terjadi.
Diksi konfrontatif pun sengaja dipilih untuk memperkuat kesan kritik: kata-kata seperti “hantu”, “zombie”, dan “terjerumus” bukan hanya menimbulkan rasa ngeri, tetapi juga mengundang kemarahan dan perhatian pembaca terhadap permasalahan serius. Nada agitasi yang digunakan, berupa kalimat singkat, tegas, dan sindiran pedas, menjadikan puisi ini seakan memaksa publik untuk tidak tinggal diam menghadapi kebijakan yang dianggap salah arah.
Formula yang diterapkan Muhammad Alfariezie dalam puisi kontemporer ini menunjukkan bahwa sastra bisa menjadi medium efektif untuk menyuarakan ketidakadilan, mendorong kritik sosial, dan membangkitkan kesadaran politik masyarakat. Puisi bukan lagi sekadar karya estetik, tetapi juga senjata moral yang mengajak pembaca untuk menilai, mempertanyakan, dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin.***