SAIBETIK – Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana kini menghadapi ancaman pidana dan potensi pemberhentian tidak hormat apabila tidak menindaklanjuti revisi Perda Kota Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2021. Perda ini mengatur rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2021–2041, termasuk lokasi Terminal Tipe C di Kecamatan Panjang, yang direncanakan sebagai bagian dari jaringan transportasi kota. Rencana alih fungsi terminal menjadi Gedung SMA Swasta Siger menjadi sorotan utama dan menimbulkan perdebatan hukum.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Thomas Americio, hingga saat ini Pemkot Bandar Lampung dan Yayasan pendidikan yang digagas Eva Dwiana belum menyerahkan seluruh izin administratif yang dibutuhkan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa perubahan fungsi lahan yang dilakukan tanpa prosedur resmi berpotensi melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Perda Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2021 menetapkan Terminal Tipe C sebagai bagian dari sistem jaringan transportasi yang strategis untuk kota selama 20 tahun ke depan. Terminal ini berfungsi sebagai titik penghubung mobilitas masyarakat, termasuk angkutan umum dan logistik, sehingga perubahan fungsinya memerlukan kajian mendalam serta persetujuan dari berbagai pihak terkait.
Jika terbukti menerbitkan izin alih fungsi lahan tanpa memperhatikan rencana tata ruang, Wali Kota Eva Dwiana dapat dijerat ancaman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp500 juta. Selain itu, DPRD Bandar Lampung juga berwenang menempuh mekanisme pemberhentian tidak hormat sesuai prosedur hukum yang berlaku. Ancaman sanksi ini menunjukkan betapa pentingnya mematuhi regulasi tata ruang dalam setiap kebijakan pembangunan di tingkat kota.
Pengamat tata ruang dan hukum administrasi menekankan bahwa pejabat yang menerbitkan izin yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang tidak hanya berisiko pidana, tetapi juga menimbulkan dampak serius terhadap tata kelola kota, termasuk kemacetan, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, dan potensi sengketa lahan di kemudian hari. “Setiap keputusan alih fungsi harus melalui prosedur legal dan transparan, agar tidak merugikan masyarakat maupun menimbulkan risiko hukum bagi pejabat yang bersangkutan,” ujar seorang ahli tata ruang dari Universitas Lampung.
Kasus ini menegaskan pentingnya koordinasi antara pemerintah kota, DPRD, dan instansi teknis, termasuk dinas pendidikan, dinas perhubungan, dan badan perencanaan pembangunan daerah. Koordinasi ini diperlukan agar setiap perubahan tata ruang atau fungsi lahan memiliki dasar hukum yang kuat dan sesuai dengan kepentingan publik.
Selain aspek hukum, isu ini juga memunculkan perdebatan publik. Warga dan tokoh masyarakat menyoroti bagaimana perubahan fungsi terminal dapat berdampak pada akses transportasi, mobilitas warga, dan pelayanan publik. Sebagian warga mendukung pendirian SMA Swasta Siger sebagai upaya peningkatan akses pendidikan, sementara pihak lain menekankan pentingnya mempertahankan fungsi terminal sebagai fasilitas transportasi strategis.
Dengan situasi ini, langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Pemkot Bandar Lampung adalah menyiapkan revisi Perda yang memenuhi ketentuan hukum dan mengakomodasi aspirasi masyarakat. DPRD Bandar Lampung juga diharapkan aktif melakukan pengawasan agar tata kelola kota berjalan sesuai peraturan yang berlaku, sekaligus menghindari potensi konflik kepentingan di masa depan.****
