SAIBETIK – Kontroversi kembali mencuat terkait SMA Swasta Siger yang dianggap melanggar sejumlah regulasi pendidikan di Indonesia. Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung, Darmawan Purba, yang juga menjabat Sekjen Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan se-Indonesia (Adipsi), menyebut SMA ini sebagai sekolah kolaboratif lintas batas, meskipun sejumlah pihak menilai pendapatnya sangat kontroversial.
Menurut Darmawan, sekolah ini memanfaatkan gedung eksisting milik pemerintah kota, melibatkan tenaga pendidik lokal dan komunitas pendidikan, serta membuka kemitraan dengan berbagai pihak. Ia menekankan bahwa langkah ini menunjukkan inovasi dan keberanian menembus batas birokrasi demi kepentingan masyarakat.
Namun, pernyataan tersebut bertentangan dengan fakta di lapangan. SMA Swasta Siger diduga ilegal karena belum memiliki persetujuan DPRD dan melanggar beberapa regulasi, termasuk Permendikbudristek Nomor 36 Tahun 2014, UU Nomor 16 Tahun 2001, PP Nomor 66 Tahun 2010, dan Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025. Selain itu, sekolah ini memanfaatkan sarana dan prasarana SMP negeri sehingga jam belajar peserta didik terganggu.
Ketua DPRD dan Ketua Komisi 4 DPRD Bandar Lampung menegaskan bahwa hingga kini belum ada pengesahan anggaran untuk sekolah tersebut. Dugaan penyalahgunaan dana publik semakin diperkuat karena SMA Siger menerima kucuran dana dari Pemkot tanpa mekanisme yang sah.
Langkah camat dan lurah melakukan door to door untuk mencari data siswa di sekolah-sekolah, termasuk sekolah negeri, menimbulkan kritik dari praktisi pendidikan. Data keluarga by name by address juga tersebar melalui grup WhatsApp RT dengan alasan penjaringan Program Indonesia Pintar (PIP), padahal Disdikbud Provinsi Lampung menegaskan Wali Kota tidak memiliki hak memberikan bantuan dana PIP.
Praktisi pendidikan menilai pernyataan Darmawan yang menyebut SMA Siger sebagai sekolah kolaboratif lintas batas sangat ironis, karena fakta menunjukkan sekolah ini lebih condong menjadi instrumen kebijakan kontroversial yang memudahkan langkah culas penguasa daerah. Dugaan penggunaan strategi door to door untuk menarik siswa, terutama dari keluarga kurang mampu, menambah kekhawatiran akan praktik yang tidak transparan.
Kepemilikan sekolah ini juga belum jelas, meski salah satu wali murid menyebut ketua yayasannya adalah mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Metro. Sementara itu, dukungan Partai Gerindra melalui Ketua DPD Lampung juga menimbulkan pertanyaan tentang motif politik di balik pendirian SMA Siger.
Dengan fakta tersebut, banyak pihak mempertanyakan integritas dan objektivitas akademisi yang seharusnya mampu menilai kebijakan pendidikan secara kritis dan independen. Dugaan pelanggaran regulasi dan manipulasi data siswa menjadi catatan serius bagi pemerintah dan masyarakat Lampung.***