SAIBETIK- Ungkapan bahwa anak muda lebih bersemangat dalam bekerja seolah tidak berlaku di Provinsi Lampung. Partai Gerindra dengan sosok Rahmat Mirzani Djausal (RMD) sebagai Ketua DPD sekaligus simbol pemimpin muda, tampak seperti anak-anak yang selalu salah mengikat tali layang-layang hingga sulit mengudara.
Di tengah tanah kopi dan lada yang masih bergulat dengan konflik agraria, harga pertanian di bawah standar, dan berbagai praktik culas berkedok pendidikan, kepemimpinan Gerindra Lampung justru lebih terlihat sibuk mengeluh ketimbang bekerja mencari solusi.
Petinggi DPD Gerindra Lampung Hanya Mengeluh ke Menteri
Kedatangan Kepala BPN sekaligus politikus senior Partai Golkar, Nusron Wahid, kembali mengangkat isu lama mengenai konflik agraria antara warga dan korporasi. Dalam pernyataannya, Nusron mengungkap keluhan Gubernur Lampung terkait banyaknya korporasi yang menguasai lahan luas, sementara warga dan pemerintah provinsi tidak bisa memanfaatkan potensi tanah tersebut.
Alih-alih menghadirkan solusi, langkah pemimpin muda Gerindra justru sebatas keluhan. Padahal, seharusnya RMD dapat mendorong terbentuknya Satgas Agraria sebagai langkah konkret. Namun suara itu tak terdengar, bahkan ketika mahasiswa menyuarakan isu PT BSA dan SGC.
Singkong Murah, Petani Menjerit
Masalah di bidang pertanian pun tak kalah pelik. Petani singkong Lampung mengeluhkan harga jual hasil panen yang hanya Rp1.000 per kilogram, dengan potongan 30-40 persen dari pengepul. Jauh dari harga acuan Mentan sebesar Rp1.350, bahkan lebih rendah dibanding Nigeria yang bisa menembus Rp4.000 per kilogram.
Hal ini menjadi bukti bahwa RMD belum mampu menghadirkan instrumen untuk menjamin kesejahteraan petani.
Dukung Kebijakan Kontroversial Pendidikan
Di sektor pendidikan, dukungan Gerindra Lampung terhadap kebijakan Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, juga menuai sorotan. Eva dinilai melakukan langkah terstruktur dan sistematis untuk mendirikan SMA Swasta Siger, meski menabrak empat regulasi sekaligus.
Bahkan camat dan lurah turut bergerak door to door mencari data siswa dan warga penerima PIP, padahal seorang wali kota tidak memiliki wewenang dalam program nasional tersebut. Alih-alih menegur, Gerindra justru terkesan mendukung kebijakan yang berpotensi menelantarkan remaja pra sejahtera di Lampung.
Sebuah refleksi yang memperlihatkan bagaimana partai penguasa merasa memiliki legitimasi untuk menabrak aturan dan tetap hidup santai di atas penderitaan rakyat.***