SAIBETIK– Pemerintah Kota Bandar Lampung yang dipimpin Wali Kota Eva Dwiana kembali menjadi sorotan publik terkait keberadaan SMA Swasta Siger. Sekolah yang perizinannya dinilai belum jelas dan belum terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) ini menjadi polemik setelah Pemkot mengerahkan camat dan lurah melakukan door to door untuk mengumpulkan data siswa, terutama dari keluarga kurang mampu, dengan modus Program Indonesia Pintar (PIP). Langkah ini dianggap beberapa pengamat sebagai upaya memuluskan penerimaan siswa ke sekolah swasta yang pembangunannya diduga melanggar beberapa regulasi.
Usai camat dan lurah melakukan pencarian data, Pemkot Bandar Lampung melalui laman resmi Kelurahan Kedamaian menghadirkan tanggapan pakar hukum dari Universitas Lampung (Unila), Yusdianto, yang menyatakan legalitas SMA Swasta Siger. Yusdianto menyebut yayasan pendiri sekolah telah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan kurikulumnya dapat disesuaikan dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP) atau bekerjasama dengan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
“Secara legalitas, sekolah ini terdaftar sebagai yayasan di Kemenkumham. Terkait izin operasional dari Dinas Pendidikan dan Kemendikbudristek, hal ini bisa disesuaikan. Kurikulum bisa mengikuti SNP atau bekerja sama dengan PKBM agar lulusan memiliki ijazah yang diakui negara,” ujar Yusdianto, Senin (14/7/2025), melalui laman resmi Kelurahan Kedamaian.
Namun, pernyataan pakar hukum ini mendapat kritik tajam dari tokoh masyarakat dan praktisi pendidikan. Mereka menyoroti empat regulasi yang diduga dilanggar dalam pendirian SMA Swasta Siger, yakni Permendikbudristek Nomor 36 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010, dan Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025. Selain itu, DPRD Bandar Lampung juga belum mengesahkan anggaran bagi sekolah ini, yang sebagian pembiayaannya berasal dari Pemkot, sehingga legalitas operasionalnya masih dipertanyakan.
Tokoh masyarakat Lampung, Panglima Ormas Ladam, menilai Yusdianto tidak meninjau keseluruhan konteks sekolah dan belum mempertimbangkan sikap DPRD. “Bagaimana jika DPRD menolak pengesahan anggaran? Jangan-jangan beliau lebih memahami apa yang terjadi di DPRD dibanding masyarakat,” kata Panglima Ormas Ladam.
Praktisi pendidikan M. Arief Mulyadin juga menyayangkan pembelaan pakar hukum tersebut. Ia menekankan bahwa PKBM hanya diperuntukkan bagi jalur pendidikan nonformal dengan paket A, B, dan C, bukan sebagai pengganti kurikulum sekolah formal. “Aneh kalau menyarankan SMA bekerjasama dengan PKBM untuk mengeluarkan ijazah formal. PKBM bukan sekolah reguler, jadi ini jelas salah kaprah,” tegas Arief, Minggu (17/8/2025).
Selain itu, permasalahan gedung sekolah menjadi sorotan. SMA Swasta Siger belum memiliki gedung sendiri untuk kegiatan belajar mengajar. Meski meminjam gedung SMP Negeri, langkah ini dianggap menyalahi aturan dan tidak sesuai regulasi yang berlaku, terutama dalam pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi sekolah swasta lain yang patuh aturan tetapi tidak bisa menambah siswa karena keterbatasan kuota.
Masalah lain yang disoroti adalah aturan rekomendasi dari sekolah terdekat. Dinas Pendidikan Provinsi Lampung menegaskan bahwa pembukaan sekolah swasta baru harus mendapatkan persetujuan dan rekomendasi dari lima sekolah terdekat dengan tanda tangan resmi. Langkah Pemkot yang mendorong SMA Swasta Siger tanpa mengikuti prosedur ini dianggap sebagai pelanggaran prosedural.
Seorang kepala SMK swasta di Bandar Lampung menyatakan, “Jangan mentang-mentang ini sekolah milik Pemkot, seenaknya melanggar aturan. Ada sekolah swasta yang gratis dan tetap taat aturan, tapi SMA Siger justru meminta pembelaan pakar hukum sehingga menimbulkan kebingungan dan kontroversi di masyarakat.”***