SAIBETIK – Sepak bola bukan hanya soal strategi di lapangan, tetapi juga bagaimana pelatih membangun narasi untuk meraih simpati publik. Perbedaan itu tampak jelas antara Paul Munster (pelatih Bhayangkara Presisi Lampung FC) dan Bernardo Tavares (pelatih PSM Makassar).
Pada konferensi pers jelang dan sesudah laga Bhayangkara Lampung kontra PSM Makassar di Stadion Sumpah Pemuda, Way Halim (15–16 Agustus 2025), Munster tampil dengan jawaban normatif. Ia enggan menanggapi lebih jauh soal harapan publik agar Bhayangkara tampil dengan gaya adaptif layaknya Arsenal.
“Saya tidak peduli Arsenal dan Arteta,” ujarnya singkat, Jumat (15/8).
Pasca laga yang berakhir imbang 1-1, Munster pun hanya mengulang kalimat standar: tim sudah berlatih penyelesaian akhir, peluang belum maksimal, dan situasi itu wajar dalam sepak bola. Minim detail, tanpa narasi besar, tanpa kritik maupun gestur emosional.
Bernardo Tavares: Menghidupkan Konferensi Pers
Berbeda dengan Munster, Bernardo Tavares justru memanfaatkan konferensi pers untuk menyuarakan keresahan, kritik, bahkan nostalgia. Ia tidak sekadar menjawab, tetapi juga membangun cerita.
Selepas laga, ia mengulas dua momen kontroversi wasit secara detail: penalti untuk Bhayangkara yang dianggap keliru, serta potensi handsball di penghujung laga yang luput dari perhatian. Dengan intonasi tegas dan gestur penuh penekanan, ia membuat media dan publik larut dalam narasinya.
“Kalau stadion penuh seperti di sini, tekanan suporter bisa memengaruhi wasit. Saya kira dua keputusan itu sangat menentukan,” tegas Tavares.
Tak hanya bicara teknis, Tavares juga berani membuka fakta finansial klub. Ia menyinggung keterbatasan anggaran PSM dibanding Bhayangkara, bahkan menyebut dua pemain incarannya justru berlabuh ke klub lawan karena faktor uang. Ia lalu mengaitkan situasi itu dengan perbandingan antara Mourinho dan Guardiola: yang satu bertahan dengan segala keterbatasan, yang lain leluasa memilih pemain.
Sentuhan Emosi dan Kenangan
Bernardo juga menghidupkan atmosfer dengan menyinggung soal dukungan penonton. Ia terang-terangan kecewa bermain di Pare-Pare yang sepi penonton, lalu membandingkan dengan dukungan penuh di Stadion Sumpah Pemuda yang menurutnya luar biasa.
“Saya ingat saat juara 2023. Stadion selalu penuh, suporter di mana pun hadir memberi energi. Atmosfer seperti inilah yang bisa memberi tekanan kepada wasit dan keuntungan bagi tim,” kenangnya.
Di sini terlihat perbedaan mencolok: Munster memilih aman dengan komunikasi normatif, sementara Tavares menjadikan konferensi pers sebagai panggung kedua setelah lapangan.
Dua Karakter, Dua Jalan
Paul Munster bukan pelatih sembarangan. Ia pernah membawa Persebaya ke empat besar Liga 1 dan mengangkat Bhayangkara FC dari peringkat 13 ke empat besar pada 2019. Namun gaya komunikasinya kali ini terkesan dingin, serius, dan minim interaksi publik.
Sebaliknya, Tavares memahami betul bahwa simpati publik adalah aset. Dengan bahasa lugas, analogi kelas dunia, hingga curahan hati soal finansial dan suporter, ia mampu menjadikan konferensi pers sebagai senjata penting untuk membela timnya.***