SAIBETIK— Pimpinan DPRD Kota Bandar Lampung menyampaikan keprihatinan serius terhadap langkah Pemerintah Kota dalam mendirikan lembaga pendidikan baru tingkat SMA, yaitu Sekolah Swasta Siger. DPRD menilai, kebijakan tersebut diambil tanpa perencanaan matang dan cenderung menggampangkan aturan pendidikan yang berlaku.
Wakil Ketua DPRD Kota Bandar Lampung dari Fraksi PDI Perjuangan, Wiyadi, mengatakan bahwa pendirian Sekolah Siger tidak disertai pemenuhan standar minimal infrastruktur dan sistem manajemen pendidikan yang layak. Hal ini terlihat dari keputusan Pemkot yang meminjam gedung milik SMP Negeri 38, 39, 44, dan 45 untuk dijadikan tempat sementara kegiatan belajar mengajar Sekolah Siger.
“Sekarang ini Sekolah Siger 1 sampai 4 belum punya gedung sendiri. Pemerintah malah pinjam fasilitas sekolah negeri dan berencana memadatkan jam belajar. Ini tidak bijak,” ujar Wiyadi pada Sabtu (26/7/2025).
Wiyadi menyoroti pernyataan dari pejabat Dinas Pendidikan Kota yang menyebut bahwa kegiatan belajar siswa bisa disiasati dengan memadatkan jam pelajaran, sebagai solusi sementara. Bagi DPRD, pendekatan ini justru menunjukkan lemahnya tata kelola dan minimnya keseriusan dalam menjaga kualitas pendidikan.
“Kalau alasannya nanti pelajaran dipadatkan, itu yang jadi masalah. Ini birokrasi yang menganggap semua bisa diakali dengan cara gampang. Akan kami panggil dan pertanyakan langsung,” tegasnya.
DPRD: Pendidikan Bukan Proyek Percobaan
DPRD mengingatkan, prinsip dasar dalam pendirian sekolah bukan semata membangun fisik atau membuka pendaftaran, tetapi memastikan kualitas pendidikan tetap terjaga melalui perencanaan matang dan sesuai regulasi.
“Kami minta jangan asal bicara. Pendirian sekolah harus sesuai aturan, tata kelola yang benar, dan rencana yang masuk akal. Jangan korbankan hak pendidikan siswa demi ambisi politik atau pencitraan,” pungkas Wiyadi.
Kasus ini menjadi perhatian karena selain belum jelas legalitas Sekolah Siger, DPRD juga belum pernah diajak berdiskusi atau memberikan persetujuan terkait anggaran pendirian lembaga ini. Hal ini menambah daftar kejanggalan yang kini menjadi sorotan legislatif.***