SAIBETIK— Sekolah Siger, proyek unggulan Pemerintah Kota Bandar Lampung yang diklaim sebagai terobosan pendidikan gratis, kini menjadi sorotan tajam. Program ini justru dinilai prematur dan berisiko tinggi karena sejumlah ketidaksiapan mendasar—mulai dari legalitas hingga ketiadaan tenaga pendidik dan kepala sekolah.
Seorang pejabat Dinas Pendidikan Provinsi Lampung menyatakan bahwa hingga Jumat (11/7/2025), pihaknya belum menerima berkas perizinan operasional Sekolah Siger 1 hingga 4 dari Pemerintah Kota Bandar Lampung.
“Setahu saya ya, belum pernah ada yang mengurus,” ujarnya singkat.
Menurutnya, proses pendirian sekolah harus dimulai dari keabsahan pengurus yayasan, pengangkatan kepala sekolah, baru kemudian pengajuan izin operasional ke Dinas Pendidikan.
Namun, kondisi di lapangan memperlihatkan gambaran sebaliknya. Sekolah Siger Millenial yang berada di bawah Yayasan Siger Prakarsa Bunda belum memiliki kepala sekolah resmi. Bahkan, dua wakil kepala sekolah yang baru ditunjuk mengaku tidak mengetahui siapa ketua yayasannya.
“Kami baru ditunjuk kira-kira satu minggu lalu. Kepala sekolah belum ada, dan kami juga tidak tahu siapa ketua yayasannya,” ujar mereka, Selasa (9/7/2025).
Ketergesaan pendirian sekolah tanpa kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur dinilai berisiko menimbulkan masalah besar. Terlebih, saat penutupan pendaftaran murid baru pada Kamis (10/7), jumlah pendaftar di empat sekolah tersebut hanya sekitar 60 siswa—bahkan dua sekolah mencatat pendaftar di bawah 20 orang.
“Kalau dipaksakan, bisa jadi bumerang. SDM dan perangkatnya saja belum siap,” ujar narasumber lainnya.
Meski sebuah pengecekan notaris menemukan nama Yayasan Siger Prakarsa Bunda di Administrasi Hukum Umum (AHU), legalitas itu belum berbanding lurus dengan izin operasional pendidikan dari Dinas terkait.
“Kayaknya izinnya belum bergerak di Lampung,” ungkapnya, membantah klaim Wali Kota Bandar Lampung yang sempat mengunggah dukungan dari provinsi di media sosial.
Masalah lain yang muncul adalah minimnya standar operasional. Panitia penerimaan siswa baru di salah satu Sekolah Siger mengaku bahkan tidak memiliki aturan baku mengenai jadwal buka-tutup pendaftaran.
“Untuk jam buka dan tutup, kami sendiri bingung, memang belum ada aturannya,” kata salah satu panitia pada Kamis sore (10/7) saat meja pendaftaran sudah kosong dari berkas.
Lantas bagaimana sikap Dinas Pendidikan? Mengingat dari keterangan berbagai pihak, sekolah ini belum memiliki kepala sekolah dan belum memenuhi syarat struktural dasar.
“Nah itu masalahnya,” ujar salah satu pejabat Dinas Pendidikan, mengakui bahwa jika dipaksakan tanpa kesiapan SDM dan perangkat, Sekolah Siger bisa menjadi sumber polemik baru dalam sistem pendidikan kota.
Program ambisius ini tampaknya menyisakan pertanyaan besar: benarkah Sekolah Siger sebuah solusi, atau justru eksperimen tergesa yang mempertaruhkan masa depan anak-anak Bandar Lampung?***