SAIBETIK— Di tengah sorotan publik, program pendidikan Sekolah Siger yang digagas Wali Kota Eva Dwiana kini berada di ujung kritik. Digadang sebagai solusi pendidikan gratis bagi siswa kurang mampu di Bandar Lampung, realisasinya justru memunculkan sejumlah kejanggalan.
Hingga pukul 14.00 WIB di hari penutupan pendaftaran, total pendaftar di keempat unit Sekolah Siger tidak mencapai 70 siswa. Di Sekolah Siger 1 hanya 9 pendaftar, Siger 2 hanya 11 siswa, Siger 3 mencatat 23 pendaftar, dan Siger 4 sebanyak 15.
Di beberapa lokasi, bahkan panitia penerimaan murid sudah tidak lagi berada di sekolah. Guru yang ada pun mengaku tidak tahu-menahu soal jumlah pendaftar ataupun siapa pengurus yayasan yang menaungi sekolah tersebut.
“Kami enggak tahu soal ketua yayasan. Bahkan sistem sekolahnya masih menunggu instruksi,” ujar salah satu staf pengajar.
Pendaftaran Minim, Sistem Tidak Jelas
Ketiadaan struktur manajemen yang jelas, waktu pendaftaran yang tidak terinformasikan dengan baik, serta belum adanya penunjukan resmi kepala sekolah dan ketua yayasan membuat masyarakat bingung dan ragu.
Wali murid bahkan mengaku mendapat informasi dari sekolah negeri bahwa Sekolah Siger adalah lembaga negeri, padahal statusnya tidak jelas secara hukum dan administrasi.
“Saya kira ini SMA Negeri, tapi ternyata bukan. Bahkan proses pendaftarannya ribet, sampai rumah saya dicek segala,” ujar Aminah, orang tua calon siswa.
Sekolah Swasta Terabaikan
Lebih dari 30 kepala sekolah swasta sudah mengadu ke Komisi V DPRD Provinsi Lampung pada 7 Juli 2025. Mereka menilai kehadiran Sekolah Siger sebagai ancaman langsung terhadap eksistensi sekolah swasta, yang selama ini tetap berjuang mendidik anak-anak dengan segala keterbatasan.
Namun, berdasarkan jumlah pendaftar yang rendah di Sekolah Siger, kekhawatiran bahwa siswa akan tersedot sepenuhnya ke program ini tidak terbukti. Sekitar 2.400 siswa masih berpeluang mendaftar ke SMA/SMK swasta.
“Lebih baik Pemkot alokasikan anggaran Siger untuk subsidi siswa di sekolah swasta. Mereka sudah punya gedung, akreditasi, dan legalitas yang jelas,” tegas Misrul, tokoh masyarakat dari Laskar Muda Lampung.
Kritik: Terobosan Tanpa Kajian dan Akuntabilitas
Misrul menyayangkan minimnya keterlibatan sekolah swasta dan tidak adanya transparansi dalam pendirian Sekolah Siger. Ia juga mengingatkan agar DPRD Provinsi dan Kota tidak abai menjalankan fungsi pengawasan, sebab ini menyangkut kebijakan publik yang berpotensi merugikan siswa.
“Ini niat mulia, tapi harus lewat kajian. Jangan korbankan kualitas dan kepercayaan masyarakat,” katanya tegas.
Pertanyaan yang Masih Menggantung:
- Siapa sebenarnya Ketua Yayasan Siger Prakarsa Bunda?
- Apakah yayasan ini sudah terdaftar secara legal di Dinas Pendidikan?
- Mengapa sekolah-sekolah swasta tidak dilibatkan sebagai mitra untuk program pendidikan gratis?
- Apa bentuk pengawasan DPRD dalam kebijakan ini?
Sekolah Siger mungkin lahir dari semangat kebaikan, tapi polemik di lapangan menunjukkan bahwa niat baik tak cukup tanpa struktur, transparansi, dan partisipasi publik. Hingga masalah ini dijawab tuntas, Sekolah Siger tetap menjadi misteri dalam sistem pendidikan Kota Bandar Lampung.***