NGAKAK POLITIK
SAIBETIK- Lagi-lagi, harga batubara melonjak tajam—naik 6,83% hari ini. Tapi, di tengah euforia cuan dari komoditas energi, publik justru bertanya: ke mana para penguasa negeri ini melangkah?
Ada yang menyebut mereka sedang “istirahat di bulan” — bukan karena misi NASA, tapi karena posisi mereka yang begitu jauh dari realitas rakyat.
Siapa yang Dimaksud?
Kalau kamu familiar dengan nama-nama yang sering muncul di panggung kekuasaan — dari “Presiden gemoy kedua dunia,” si Opung segala bangsa, sampai Bapak Perangkap Jabatan — mungkin kamu paham ke arah mana angin satire ini berembus.
Sementara rakyat bersuara di darat, mereka seolah berlayar di orbit, menikmati langit cerah keuntungan, dari tambang hingga jabatan yang dobel-dobel.
Kenapa Satir Ini Muncul?
Karena publik makin gerah melihat kekayaan elite terus menggelembung, sementara dampak lingkungan akibat eksploitasi tambang seperti batubara tetap menjadi persoalan yang dibungkam. Hutan dibabat, suara dibisukan, dan rakyat? Disuruh puas dengan narasi “demi pembangunan”.
Dan ya, ketika rakyat mulai sadar, suara lantang mereka malah dituduh “pengganggu stabilitas”. Padahal yang diganggu cuma struktur nyaman yang tak adil.
Negeri yang Terbakar oleh Bisnis, Tapi Dingin oleh Nurani
Masyarakat sudah semakin sadar: politik bukan lagi tempat adu ide, tapi adu jaringan tambang dan kongsi bisnis. Sementara istilah “kewajiban sosial” lebih sering jadi bahan spanduk ketimbang praktik nyata.
Kalau ada relawan yang ngebela mati-matian elite pemangku kepentingan, kadang bukan karena cinta, tapi karena cita-cita ikut makan bancakan.
Catatan Penutup (Satir Bercampur Serius)
Jangan heran kalau sistem ini disebut “negeri peri berbicini” – karena dongeng demokrasi yang dijanjikan dulu ternyata penuh plot twist dan drama elite yang sulit dilacak logika.
Mau tertawa? Silakan. Mau geram? Wajar. Tapi satu yang pasti: rakyat tidak seharusnya jadi penonton pasif ketika sumber daya dikeruk dan kekuasaan dimonopoli.***