SAIBETIK — Siapa sangka, saat dunia bergulat dengan pandemi Covid-19, tempe justru mengalami masa keemasan. Di tengah pembatasan sosial dan ancaman krisis ekonomi, makanan rakyat ini malah jadi primadona di dapur masyarakat dan laris di pasar.
Sutrisno, seorang pengrajin tempe di Kelurahan Jagabaya II, Way Halim, Bandar Lampung, menjadi saksi hidup dari fenomena tersebut. Ia menyebut, masa pandemi justru menjadi titik tertinggi penjualannya.
“Kalau dibanding sekarang, jujur lebih laku saat Covid-19,” ujarnya saat ditemui di rumah produksinya.
Padahal, secara umum masa pandemi identik dengan pemutusan hubungan kerja dan penurunan daya beli. Namun, logika ekonomi kadang memang tak tertebak. Menurut Sutrisno, salah satu penyebab naiknya permintaan tempe kala itu bisa jadi karena banyak orang mulai membuka usaha kuliner rumahan.
“Kayaknya waktu itu karena lockdown, orang banyak yang jualan makanan online. Jadi tempe laku banget,” ujarnya sambil tersenyum.
Namun selepas pandemi dan memasuki era pemulihan ekonomi, tren itu mulai menurun. Penjualan tempe tak lagi sekuat dulu. Sutrisno belum bisa memastikan apa penyebab utama penurunan ini, tapi ia menduga salah satunya adalah daya beli masyarakat yang masih lesu.
“Mungkin sekarang ekonomi belum pulih benar, banyak yang masih mikir-mikir buat belanja,” katanya.
Ia berharap ke depan akan ada kebijakan atau inovasi yang bisa membantu para pengrajin lokal seperti dirinya agar tetap bisa bertahan di tengah dinamika pasar yang terus berubah.***