SAIBETIK — Dunia sastra kembali mencatat nama Indonesia, tepatnya dari Lampung. Isbedy Stiawan ZS, penyair kawakan yang dijuluki Paus Sastra Lampung oleh kritikus HB Jassin, sukses meraih Juara 2 dalam Sayembara/Lomba Puisi Esai Antarabangsa ke-4 yang digelar di Sabah, Malaysia.
Karya Isbedy bertajuk “Wadas, Masihkah Kita Satu Tanah Air?” menjadi satu-satunya puisi dari luar Malaysia yang berhasil menembus peringkat utama dalam lomba bergengsi ini. Ia menerima penghargaan langsung dari Menteri Sains, Teknologi, dan Inovasi Sabah, YB Datuk Dr. Mohd Arifin, dalam seremoni yang berlangsung di Hotel Horizon, Kota Kinabalu, Jumat (27/6/2025).
Prestasi ini mendapat apresiasi luas dari berbagai tokoh di Lampung. Riski Sofyan, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung, serta anggota DPRD Lampung Yozi Rizal, turut memberikan selamat. Ucapan serupa datang dari CEO Djadin Media Grup Arief Mulyadin, komunitas Lamban Lembah, hingga Endro S Yahman, mantan anggota DPR RI yang dikenal dekat dengan dunia kebudayaan.
Melalui grup WhatsApp Inilampung, Endro menyampaikan kebanggaannya atas capaian lintas batas Isbedy. Tak sekadar ucapan, Endro menegaskan makna puisi dalam pembangunan manusia:
“Puisi sangat penting bagi kehidupan manusia, khususnya dalam membentuk dimensi intelektual, emosional, estetis, dan eksistensial. Dengan puisi, kita mendidik kepekaan terhadap keadilan, kemanusiaan, dan keindahan,” ungkapnya.
Dalam sayembara tersebut, juara pertama diraih oleh Beathres Petrus dari Sandakan, Sabah, melalui puisi berjudul “Antara Wajah dan Wibawa”, dengan hadiah RM 2.750. Sementara Jaya Ramba dari Miri, Sarawak, Malaysia, meraih posisi ketiga dengan hadiah RM 1.500.
Panitia juga menetapkan sembilan puisi esai sebagai peraih hadiah hiburan (Sagu Hati), masing-masing menerima RM 500. Ajang ini merupakan bagian dari Festival Puisi Esai ASEAN, yang berlangsung 27–28 Juli 2025 di Sabah.
Kemenangan Isbedy menjadi lebih dari sekadar trofi. Ia adalah bukti bahwa puisi bisa menjembatani batas negara, menyatukan suara kemanusiaan, dan menyuarakan keresahan dalam keindahan. Dari Lampung untuk ASEAN, puisinya menyentuh persoalan tanah, identitas, dan kebangsaan—tema yang tak lekang oleh zaman.***