SAIBETIK – Kabar soal keberpihakan di AFC bukan lagi teori konspirasi. Dari gol hantu Bahrain, wasit-wasit “berhaluan Timur Tengah”, hingga sistem grup yang menguntungkan tuan rumah Sultan, sepak bola Asia kini terasa seperti panggung sandiwara mahal.
Dan inilah saat yang tepat bagi Timnas Indonesia untuk tidak hanya mengandalkan strategi di lapangan, tetapi juga mental tempur yang diajarkan Jose Mourinho—pelatih yang tak pernah diam saat keadilan diinjak.
Patrick Kluivert, pelatih baru Garuda, datang dengan silsilah megabintang: Barcelona, Milan, dan Belanda. Tapi semua itu takkan berarti kalau ia diam saat AFC menyajikan panggung yang sudah berat sebelah.
Lihatlah keberanian Mourinho—bukan hanya sekali ia menentang hasil pertandingan yang tidak adil. Pernah, satu konferensi persnya mengguncang sepak bola Turki hingga pucuk pimpinan federasi mundur berjemaah. Bukan karena kalah, tapi karena Mourinho berani menyuarakan kebenaran.
Kini, Indonesia menghadapi lawan lebih besar dari sekadar tim nasional: struktur yang diduga melayani kepentingan segelintir elite AFC. Maka yang dibutuhkan Garuda bukan hanya taktik Eropa, tetapi juga nyali baja.
“Buat apa pakai pelatih Belanda kalau diam saat dicurangi?”—teriak sebagian suporter yang masih menyimpan luka dari laga melawan Bahrain dulu.
Saatnya Kluivert bersuara. Saatnya PSSI dan seluruh ekosistem sepak bola Indonesia berhenti tunduk. Jika sepak bola adalah cermin martabat bangsa, maka diam adalah kekalahan sejati.
Dan bila AFC sulit diajak adil, mari kita hadapi mereka dengan gaya Mourinho: keras kepala, berani, dan tak kenal kompromi. Karena sekali Garuda bicara, dunia harus dengar.***