NGAKAK POLITIK
SAIBETIK- Main ke Teluk Kiluan, katanya demi studi. Nasi rendang habis, jalan tetap rusak. Dan tahu-tahu, para dewan terhormat udah sampai Jogja—bukan cari Gudeg, tapi katanya belajar “pariwisata berkelanjutan.”
Ealah, Pak Bu… Kalau mau belajar tentang wisata, kenapa enggak belajar dari rakyat yang saban minggu nanjak bukit dan nerobos kubangan demi selfie di curug? Jogja sih asyik, tapi beda dunia sama Lampung. Di sana ada candi, di sini candinya canda, cuma banjir lagi.
Lampung itu enggak kekurangan destinasi. Kita punya laut, bukit, dan sunset yang enggak kalah sama wallpaper HP. Yang kurang itu: akses, jalan mantap, dan pemangku kebijakan yang enggak mantap jalan-jalannya.
Netizen mah udah lama paham, yang bikin wisata di sini sepi itu bukan alamnya, tapi jalan menuju alamnya. Tapi entah kenapa, Dewan kita lebih tertarik mendengarkan Jogja yang adem, daripada rakyat yang udah panas duluan.
Jangan-jangan nih ya… abis Jogja, lanjut Bali? Belajar cara kelola destinasi sambil minum es kelapa muda, ditemani bule berbikini yang katanya sih bagian dari diplomasi budaya. Waduh… jangan lupa bawa oleh-oleh Sari Roti ya, bukan Sari Inti Sari!
Tapi ya sudahlah… mungkin memang kita yang enggak ngerti. Namanya juga “wakil rakyat”, jadi kalau mereka keluyuran, ya rakyat yang harus sabar. Soalnya kan katanya ini negara demokrasi, walau kadang mirip demo-kasi alasan buat jalan-jalan.
Ingat, Pak Bu, provinsi ini bukan taman bermain, apalagi travel vlog. Ini daerah penuh potensi yang perlu diseriusin, bukan disinggahi buat foto album kunker tahunan.
Jadi mari kita akhiri dengan doa bersama:
Semoga setelah pulang dari Jogja, jalan-jalan di Lampung enggak cuma jadi jalan kenangan.
Semoga studi banding bukan cuma jadi studi sambil banding harga hotel.
Dan semoga… rakyat tetap kuat, karena dewan sedang kuat jalan-jalan.***