SAIBETIK — Gelombang protes datang dari sekolah-sekolah swasta di Provinsi Lampung menyusul kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi yang mewajibkan sekolah menyerahkan ijazah tanpa syarat kepada siswa, termasuk bagi yang belum melunasi administrasi.
Pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Lampung, Thomas Amirico, yang beredar di media digital sejak 12 Februari 2025, menyebutkan bahwa sekolah yang menahan ijazah akan diberi sanksi. “Ini hak warga negara. Sepanjang sidik jarinya sudah terekam, ijazah harus diberikan,” katanya dalam pernyataan digital tersebut.
Namun, Ketua Forum Komunikasi Kepala Sekolah Swasta (FKKSS) Lampung, Suprihatin, menilai kebijakan itu tidak adil dan menyamakan langkah tersebut dengan “promo cuci gudang” tanpa mempertimbangkan keberlangsungan sekolah swasta.
“Kami tidak menolak memberikan ijazah, tapi setidaknya penuhi dulu tunggakan administrasi. Kami juga punya kewajiban menggaji guru dan menjaga operasional,” ujar Suprihatin, Selasa (25/6/2025).
Ia mengungkapkan bahwa sebagian besar sekolah swasta di Lampung hanya mengandalkan dana BOS sebesar Rp1,6 juta per siswa per tahun—yang tidak bisa digunakan untuk menggaji guru. Dalam kondisi seperti itu, sekolah swasta tak memiliki cukup ruang fiskal jika harus mematuhi kebijakan tersebut.
“Kalau ini dipaksakan, tahun ajaran baru bisa ada tiga atau lebih sekolah swasta tutup. Bagaimana bisa bertahan dengan pemasukan sekecil itu?” ungkapnya.
Persoalan tak berhenti di sana. Suprihatin juga menyoroti tidak adanya komunikasi antara Dinas Pendidikan dengan sekolah swasta dalam penyusunan kebijakan. Ia membandingkan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menjalankan kebijakan pendidikan berbasis kolaborasi, seperti Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) sebagai pelengkap BOS.
Lebih jauh, Suprihatin juga mengkritik inkonsistensi kebijakan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan pembukaan jurusan baru. Salah satu contohnya adalah SMKN 1 Bandar Lampung yang membuka jurusan perhotelan tanpa koordinasi dengan sekolah swasta terdekat, melanggar ketentuan teknis.
“Kalau kami yang buka jurusan baru, harus minta tanda tangan sekolah sekitar. Tapi SMK Negeri bisa langsung buka tanpa izin. Ini diskriminatif,” tegasnya.
Suprihatin juga menyebutkan bahwa sebelumnya Kepala Dinas sudah berjanji tidak akan menambah kuota zonasi di sekolah negeri, namun kenyataannya justru ada penambahan kuota di SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 2 Bandar Lampung.
Sementara itu, janji Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal untuk menghadirkan pendidikan yang berkualitas dan merata, kini mulai diuji oleh kenyataan di lapangan.
“Kami harap Gubernur dan Disdik memberikan solusi nyata, bukan menekan sekolah swasta hingga mati pelan-pelan. Pendidikan itu hak semua, termasuk sekolah dari dan untuk masyarakat,” pungkas Suprihatin.***