• Redaksi
  • Tentang Kami
Saibetik.com
  • BERANDA
  • POLITIK
  • LAMPUNG
    • Bandar lampung
    • Lampung Barat
    • lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
    • Way Kanan
  • NASIONAL
  • HUKUM & KRIMINAL
  • BISNIS DAN KEUANGAN
No Result
View All Result
Saibetik.com
  • BERANDA
  • POLITIK
  • LAMPUNG
    • Bandar lampung
    • Lampung Barat
    • lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
    • Way Kanan
  • NASIONAL
  • HUKUM & KRIMINAL
  • BISNIS DAN KEUANGAN
Selasa, Juli 1, 2025
No Result
View All Result
Saibetik.com
No Result
View All Result
Home REDAKSI

KOLAKA Sungai Dalam Perut Besi, Pit Dalam Dada Rakyat

Melda by Melda
18/06/2025
in REDAKSI
Dari Jalanan ke Jenewa: Helm, Algoritma, dan Keadilan yang Diperjuangkan

Penta Peturun

SAIBETIK- (Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan RI)
“Tanah air bukan hanya tanah, tetapi juga air yang mengalirkan ingatan sebuah bangsa.” (Catatan perjalanan Di Bumi Celebes, Kolaka 16-17 Juni 2025)

PIT dan ORE, Lubang-Lubang Ingatan, Bijih-Bijih Harapan
Di antara riuh mesin yang menyalak di perut bumi, di antara debu yang naik menutup matahari, dua kata tua berbisik di telinga pekerja tambang, pit dan ore. Dua kata ini, sederhana dan pendek, tapi di dalamnya bersemayam riwayat panjang manusia menggali isi perut ibunya sendiri bumi.

BeritaTerkait

No Content Available

Pit, dalam bahasa lidah para insinyur tambang, bukan sekadar lubang. Ia adalah kawah raksasa yang menganga di kulit bumi luka yang sengaja diciptakan untuk membedah rahim alam, menelisik mineral yang tidur di balik cadas dan lapisan tanah merah. Di situlah manusia menukik, menanam keringat, membangunkan pasir, kerikil, bongkah, lalu menimbunnya kembali dengan harapan menjadi emas, nikel, batubara atau sekadar angka dalam neraca devisa negara. Pit adalah ladang para penambang membanting tulang. Sehari-hari di sana, ceruk demi ceruk dibuka lebar, tanah dipangkas setahap demi setahap. Pit membentuk tangga raksasa, spiral luka di kulit bumi. Dari kejauhan, ia seperti mangkok raksasa yang menampung peluh, doa, dan kadang-kadang darah. Di lubang itu, setiap orang yang turun mengabdi pada logika eksploitasi, tapi di sudut hatinya berharap bisa memetik remah kemakmuran.

Ore, kata lain dari bijih, adalah janji di ujung ceruk itu. Ore adalah isi dari rahim bumi yang diidamkan. Bijih ini tidak hadir begitu saja berkilau murni. Ia datang bersama kotoran, batu pengiring, mineral pengganggu. Dari pit, ore diangkut, digilas, dihancurkan, dipisahkan, disaring, dicuci. Proses panjang ini tak ubahnya ritual pensucian dari bongkah ke butiran, dari kasar ke halus, dari rendah ke bermutu tinggi. “Dalam diri setiap manusia, ada bijih emas tersembunyi, yang hanya dapat ditemukan dengan melewati penggilingan derita.” Ore pun demikian. Tanpa pit, ore tak pernah bertemu cahaya. Tanpa deru ekskavator, bijih tetap jadi rahasia abadi di kegelapan tanah.

Namun begitulah manusia tak puas dengan cerita permukaan. Kita gali dan gali lagi, lubangi lagi, kuras lagi. Seperti para pencari makna, para penambang pun mencari kesucian di antara lumpur dan batuan keras. Mencari harga, mencari makan, mencari masa depan. Pit adalah lubang ingatan tentang bagaimana kita merusak dan membangun sekaligus. Ore adalah bijih harapan tentang bagaimana tanah, air, dan udara kita pertaruhkan demi rumah, sekolah, dan perut anak-anak yang menunggu di dapur. Dari tulisan ini kita memulai dengan kata “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran sebelum bertindak.” Dalam tambang, adil itu langka. Pit terus digali, ore terus diperas, manusia di pinggir pit seringkali hanya menatap dari jauh, menadah debu, menadah janji. Maka biarlah lubang-lubang pit itu juga menjadi lubang renungan sejauh mana kita tega menggali dan sanggup membayar utang kepada bumi? Biarlah ore itu menjadi bijih pengingat. Kekayaan bukan hanya bongkah di truk pengangkut, tetapi bagaimana bijih itu menetes jadi kesejahteraan, jadi jalan raya, jadi sekolah yang tak roboh, jadi rumah yang tak bocor.
Mari kita ajak Nurani kita berbisik di lubang pit, “Apa yang kau cari di luar sana, telah lama bersemayam di dalam dirimu.” Mungkin pit sejati bukan di tanah, tapi di hati manusia tempat kita mengeruk rakus, lalu pura-pura tak pernah puas. Ore termahal pun takkan cukup menutup lubang keserakahan itu.

Air, Besi, dan Sabda Kolaka
Hari ini, di Sungai Watubangga, di pompa-pompa tailing smelter Pomalaa, ingatan itu ditulis lagi bukan dengan tinta, melainkan dengan lumpur, debu nikel, dan angka-angka royalti yang sering salah hitung. Kolaka bagi investor global hanyalah blok laterit, ore saprolit, skema HPAL, RKEF, dan projection nilai ekspor. Tetapi bagi buruh, petani, dan nelayan di hilir sungai Watubangga dan Lawulo, Kolaka adalah rumah air, ladang, dan pusaka marga yang sudah tertulis jauh sebelum catatan Belanda bernama Velddagboek diterjemahkan ke format feasibility study modern. Aku, Penta Peturun, menulis diperjalanan pinggir sungai keruh mulai mengering dan berubah kontur. Menulis agar air punya suara. Menulis agar lumpur punya sabda. Menulis agar pit tambang tidak lebih sakti dari doa di mushola kampung Tambea.

Genealogi Velddagboek sebagai sejarah pengetahuan Kolonial. Pada akhir abad ke-17, Kolaka disebut Colaca dalam peta Kaart van Celebes terbitan VOC. Tak sepopuler Makassar dengan Benteng Rotterdam atau Buton dengan Benteng Wolio. Colaca hanya titik persinggahan air tawar, rotan, damar. Kontroler VOC tak pernah membangun benteng. Mereka membangun loyalitas marga. Sejarawan Belanda menulis “Colaca is een tussenstation voor bevoorrading.” Stasiun logistik di antara pelabuhan Makassar, Ternate, dan Banda. Awal 1900-an, Velddagboek Hindia Belanda mencatat potensi bijih laterit di Pomalaa, Kolaka. Insinyur Mijnbouw Dienst menandai blok laterit di bukit-bukit rimba Pomalaa. Hutan rapat, orang pribumi enggan jadi buruh tambang. Pengetahuan geologi disimpan di brankas Batavia.

1942, Jepang masuk. Belanda lari. Peta geologi tetap diarsip. Jepang gagal menambang karena kalah di Pasifik. Velddagboek pun warisan tak terbaca, dicetak ulang jadi feasibility study perusahaan tambang multinasional zaman republik. “Pit Kolaka hari ini dibor persis di blok Velddagboek kontroler Belanda seabad lalu.” Sejarah tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berganti nama dan logo. Pomalaa, dari pit hingga High Pressure Acid Leaching (HPAL), yang merupakan proses hidrometalurgi untuk mengekstraksi nikel dan kobalt dari bijih laterit. Hari ini, Pomalaa bukan lagi kebun damar dan rotan. Ia adalah pit laterit, jalan hauling, pond sedimentasi, nursery site, HPAL smelter, hingga catatan Pomalaa Growth Project senilai USD 3 miliar. Vale Indonesia melaporkan 3.632 tenaga kerja di site Pomalaa: 2.389 orang Kolaka, 1.240 orang luar, 3 orang TKA, 7 disabilitas. (Update 10 Juni 2025).

Ilustrai awal,  Ceria Group, tetangga Vale juga IPIP, membangun smelter RKEF plus fasilitas green metallurgy, membawa bendera Sustainability. Mereka mempekerjakan 3.653 orang, 2.223 orang Kolaka, 1.430 mitra kerja, 211 TKA smelter. (Materi HC Ceria 16 Juni 2025). Demikian juga PT ANTAM anak kandung negara, lahir dari rencana besar Orde Baru membuka jalan sejak 1974. Tahun itu, suara mesin pertama kali meraung di Pomalaa. Sejak itulah tanah di antara bukit dan pantai ini resmi jadi salah satu jantung nikel Nusantara, sekaligus urat nadi devisa yang bertahun-tahun menopang neraca ekspor Indonesia.

PT Antam – Tenaga, Tambang, dan Janji yang Tersimpan di Perut Bumi
Orang-orang tua di Pomalaa masih bercerita, bagaimana saat itu jalan tanah dibuka, dermaga kecil dibangun, dan rumah dinas didirikan seperti barak tentara. Dari logam abu-abu yang diciduk dari rahim tanah, Kolaka berubah dari dusun nelayan menjadi kantong pekerja tambang. Dari tahun ke tahun, FENI Plant pabrik feronikel kebanggaan ANTAM menyala dan padam silih berganti, mencatat laba dan rugi, menuai pujian dan caci maki. Tapi di antara itu semua, satu yang tak berubah  nikel tetap jadi rebutan, dan rakyat di sekitarnya tetap jadi saksi.

Hingga 19 Mei 2025, 3.397 orang menambatkan hidupnya pada ANTAM di UBPN Kolaka. Separuh lebih adalah pekerja borongan yang namanya tercetak di slip upah, tetapi sering hilang dalam rapat-rapat rencana jangka panjang. Hanya 27 persen yang berstatus pegawai tetap, sisanya tenaga alih daya yang saban hari menulis cerita sendiri di tanah kaya logam ini, namun kadang pelit berkah. Di Kolaka, rumah dinas berdiri rapat seperti barisan prajurit tua. Total 1.215 unit rumah tersedia. Sebagian besar terisi penuh, hanya 129 unit yang kosong menunggu penghuni baru. Orang-orang ini, di balik helm dan rompi tambang, pulang ke rumah yang sama di mana anak menunggu ayah, di mana istri menahan sabar, menanti lelaki yang membagi waktu antara tidur dan lembur. Data resmi menulis, “dari 24 pegawai level BOD-2 (setingkat Bureau), hanya enam orang yang anak kandung tanah Kolaka. Di level Department Head, 28 dari 116 kursi diisi anak daerah’, ujar Pria Bernama Muhidin kini bertugas di Unit Geomin Kolaka, Sulawesi Tenggara Mereka.

Angka ini bagi birokrat di Jakarta barangkali cukup jadi bahan paparan tanda bahwa ‘lokalisasi tenaga kerja’ berhasil. Namun bagi orang tua di tepi jalan Pomalaa, angka ini hanyalah embun pagi cepat menguap begitu matahari kesenjangan mulai menyengat. Upah, regulasi, dan pertanyaan yang tak pernah selesai. Meski jutaan kata PT ANTAM bersumpah di atas kertas bahwa gaji mereka berdiri di percentile ke-75 dibanding 22 perusahaan sejenis. Artinya, di atas laporan, pekerja Kolaka lebih sejahtera dari penambang lain di negeri tambang ini. Tetapi di warung kopi dekat gerbang pabrik, buruh borongan masih berutang rokok. Sistem remunerasi katanya transparan, adil, objektif. Benarkah begitu bila di meja penggajian yang adil, pekerja tetap dan borongan duduk di kursi sama, namun nasi di piring mereka tak pernah serupa?

Indonesia Pomalaa Industry Park (IPIP) – Tanah Nikel, Manusia, dan Janji yang Harus Ditepati.
Di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, tanah merah meneteskan logam, dan logam itu kini meneteskan harap. Di atas lahan seluas hampir sepuluh ribu hektare itulah sebuah kawasan industri bernama PT. Indonesia Pomalaa Industry Park (IPIP) sedang bertumbuh, dibangun dengan debu, peluh, dan kadang sengketa yang membisik di celah-celah pagar proyek. Pomalaa bukan sekadar peta tambang; ia adalah cermin dari sebuah republik yang berkali-kali berikrar pada dirinya sendiri untuk hilirisasi, untuk kemandirian, untuk tidak lagi menjual bijih mentah ke kapal asing, lalu membeli kembali jadi ponsel dengan harga lipat tujuh. Area perencanaan ruang lahan 9.384 hektar. Area perencanaan tata ruang laut 683 hektar. Lokasi Pembangunan, Kecamatan Pomalaa & Tanggetada, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Jenis proyek dalam kawasan Proyek hidrometalurgi dan pirometalurgi, lithium besi fosfatproyek refinery, proyek prekursor, serta proyek daur ulang baterai. Masa konstruksi, 2022-2027.  IPIP lahir dari derap langkah perusahaan tambang raksasa 70% sahamnya dipegang Huayou Group 30% PT Rimau New World yang membawa teknologi hidrometalurgi, pirometalurgi, hingga mimpi daur ulang baterai lithium. Mereka datang bukan hanya dengan mesin, tapi juga dengan janji memberdayakan manusia lokal, membuka ladang kerja, membangun sekolah kejuruan, hingga menjahit kata “berkelanjutan” di spanduk CSR yang kerap disematkan di pos satpam.

7 (tujuh) proyek fase pertama di dalam kawasan dan saat ini semua proyek telah dimulai secara bertahap. Nilai investasi ± 4 milyar dolar. Jumlah karyawan 11,740. Dari 7 (tujuh) Perusahan dan produk terdiri dari PT. Kolaka Nickel Indonesia (Nikel kobalt hidroksida), PT. Huashuo N Nickel Indonesia (Nickel Matte), PT. Huaxing Nickel Indonesia (Nickel Matte), PT IPIP Port Kolaka (Kapasitan Muatan), PT. Surelyrich Powerplant Indonesia (Kelistrikan), PT. Kolaka Green Energy (Kelistrikan), PT. Indonesia Pomalaa Industry Park (Fasilitas Umum).  Fakta di lapangan, awal Juni 2025, sebelum tuntas jumlah pekerja tercatat 4.906 orang. Delapan puluh tiga persen di antaranya rakyat Indonesia. “Sebagian besar anak-anak Kolaka sendiri 3.446 jiwa. Sisanya orang-orang muda dari luar kabupaten, mengejar upah, mengejar gelar baru buruh industri nikel. Ada 827 pekerja asing, mayoritas Tiongkok, membawa keahlian teknis yang kata para pengurus Kawasan belum dimiliki insinyur local”, Pungkas Manager Eksternal Relation PT IPIP Jilly Philips Makarawung, di hadapan Noel, Wamenker RI, Bupati Kolaka Hi. Amri dan Hi. Ahmad Safe’i diruang Rapat UBPN Kolaka, milik PT. Antam (16/06/2025). Saat ini jumlah warga lokal yang terserap di IPIP sudah mencapai 80 persen dari total pekerja. Angka itu sudah melebihi ketentuan Perda Nomor 17 Tahun 2023 tentang pemberdayaan tenaga kerja lokal Kolaka, yang mensyaratkan setiap perusahaan menyerap minimal 70 persen pekerja lokal. Itu sudah lebih dari 80 persen dari total jumlah tenaga kerja yang ada ungkapnya. Kawasan ini menargetkan terminal port rampung September 2025. Dermaga penyangga sudah menapak 1.053 meter. Penimbunan lahan nyaris 90% selesai. Pembangkit listrik tahap pertama dijanjikan hidup November 2026. Sementara orang-orang di tepi proyek menunggu, sambil menyesap kopi, menghitung janji dan kemungkinan upah naik.

Ada yang patut dicatat, IPIP mencoba merajut hubungan kerja lebih manusiawi. Pelatihan gencar, dari program mentor, murid, pusat kejuruan, hingga pos rekrutmen keliling desa. Mereka meneken MOU dengan Dinas Ketenagakerjaan Kolaka. Membentuk bipartit, membangun pos pengaduan, menyediakan ruang salat bagi Muslim. Sekilas, tata kelola SDM mereka tampak rapi di kertas. Namun, pertanyaan kuno kembali muncul, cukupkah lapangan kerja ini untuk menebus rusaknya sungai? Cukupkah pelatihan dan beasiswa membayar tumbang hutan? Dalam agenda besar Poros Maritim Dunia dan hilirisasi industri, IPIP adalah pion di papan catur. Diharapkan bisa memahat Kolaka jadi pilar rantai pasok baterai global. Bagi rakyat, industri tidak hanya soal output ton per ton. Industri harus mengalirkan kesejahteraan, bukan hanya dividen ke pusat. Industri harus membuat anak-anak kampung punya ruang mimpi, bukan debu batubara di paru-paru. Menulis bukan untuk menghakimi. Kami menulis sebagai pengingat, Republik ini pernah punya mimpi, dan di Pomalaa, mimpi itu dipertaruhkan sekali lagi.

CERIA- Di Bawah Langit Nikel, Dua Bersaudara Menulis Sejarah
Di tanah Kolaka, logam tidak hanya menetes dari pipa smelter, tetapi juga dari peluh anak-anak kampung yang membayangkan masa depan di pabrik, bukan lagi di kebun. Di sinilah PT Ceria Nugraha Indotama (CNI Group) menancapkan ambisi. Menggerakkan mesin tambang, membangun smelter, dan membuka jalan bagi Indonesia menjadi raja di pasar nikel hijau dunia Dua bersaudara penjaga bara. Di balik gergaji mesin dan cerobong asap smelter Merah Putih, berdirilah dua nama yang kini banyak diperbincangkan, Derian Sakmiwata Sampetoding dan Cherisha Sakmiwata Sampetoding. Dua bersaudara ini bukan sekadar direktur di atas kertas. Mereka pewaris mimpi ayah mereka, Atto Sakmiwata Sampetoding, Atto panggilanya pengusaha tambang asal Toraja, Sulawesi Selatan. Hidup diatas suka dan duka ekonomi politik dan hukum yang dijalaninya. Sejak 1992 meletakkan fondasi CNI di bumi Kolaka. Kini, pemegagng saham Derian danCherisha, keduanya lulusan Universitas Griffith, Australia berbekal amanah keluarga dan bumi Celebes, disertai ijazah dan kenekatan meramu cita-cita tambang menjadi korporasi kelas dunia. Mereka bukan sekadar menumpuk ore mentah. Smelter RKEF didirikan dengan kapasitas 252.000 ton ferronickel per tahun, ditopang teknologi Rectangular Electric Furnace yang efisien energi dan rendah emisi. Sebuah kebanggaan proyek yang mereka racik sejak 2014 itu, pada 27 April 2025, menyalakan api perdana. Ferronickel pertama lahir. Kolaka bergetar.

Tambang bukan kutukan ujar mereka dalam pidato di halaman smelter, Derian merendah, “Alhamdulillah, atas izin Allah, Smelter Merah Putih ini adalah awal, bukan akhir.” Kalimat sederhana, tetapi di baliknya tersembunyi mimpi berlapis. Membangun Nickel Matte Converter, Nickel Sulphate Plant, hingga HPAL Plant yang kelak memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) bahan baku baterai kendaraan listrik yang diburu Eropa dan Amerika. CNI Group bukan hanya membangun pabrik, tetapi membangun harapan lebih dari 600 karyawan, dengan area tambang seluas 6.785 hektar, dan cadangan bijih nikel 295 juta metrik ton. Rakyat kolaka berharap pundi-pundi pajak pun menetes deras ke kas negara. Kantor Pajak Pratama Kolaka berkali-kali menempatkan CNI di kursi terhormat sebagai penyumbang pajak tambang terbesar. Derian dan Cherisha, dua nama yang dulunya hanya anak-anak kampus Australia, kini menjadi penentu arah hilirisasi nikel di tanah Sulawesi. Tidak dengan bising pidato, tetapi dengan mesin yang berputar siang-malam.

Smelter Hijau-Janji atau Janji?
“Green nickel” bukan hanya kata manis. Ceria, nama perusahaan ini selaras dengan #CeriaBerpacu di spanduk korporat, menjanjikan smelter rendah karbon. Teknologi tanur persegi panjang, pasokan listrik bersertifikat Renewable Energy Certificate (REC), hingga pengelolaan limbah tiga prinsip, reduce, reuse, recycle. Di presentasi resmi kepada Wakil Menteri Ketenagajerjaan RI, Bapak Immanuel Ebenezer, manajemen menulis, 3.653 pekerja, 2.223 di antaranya lokal Kolaka. CNI menggandeng BLKK, mendirikan program OSDP, magang di Unhas, Halu Oleo, Sembilanbelas November Kolaka. Hanya waktu yang akan membuktikan, apakah anak-anak Kolaka kelak berdiri di ruang operator smelter sebagai insinyur terampil, atau tetap jadi buruh bongkar muat di pelabuhan ore.

Kini, Smelter Merah Putih berdiri. Ceria Group, dua bersaudara Derian dan Cherisha, menyalakan obor industri hijau di Kolaka. Tapi satu hal yang tak boleh lupa tambang adalah penakluk masa depan, hanya kalau rakyat di sekitarnya benar-benar menjadi tuan di rumah sendiri. Di bawah langit Kolaka yang berwarna merah bata karena debu nikel, mimpi itu masih merangkak pelan. Smelter menepati janjinya dengan produk berkualitas, pajak dibayar, CSR dicatat rapi. Tapi sejarah tanah ini, bila diingat, Kalau rakyatnya tetap miskin, tambang sebesar apa pun hanya akan jadi kutukan. Maka, dari Ceria lahir cerita. Dari cerita, rakyat punya daya. Dan semoga dari daya, Kolaka tidak lagi hanya jadi halaman belakang republik tetapi pusat dunia, di mana bijih nikel tak lagi menetes sia-sia.

Vale, Dari Sorowako ke Pomalaa, Jejak Nikel dan Janji Bumi yang Tetap Hijau
Di sebuah tikungan waktu, lima puluh lima tahun bukan sekadar angka. Bagi Vale Indonesia, angka itu berderet menjadi tapal jejak langkah raksasa di tanah Sulawesi, di kampung orang-orang tambang, di pinggang gunung dan urat nikel yang tidur di perut bumi. Sejak Sorowako hingga Pomalaa, logam putih keperakan ini bukan hanya membangun pabrik, jalan tambang, dan jalan Nasib. Ia membangun harap dan gundah, membangun sawah dan sumur, membangun janji bahwa bumi yang luka harus disembuhkan sebelum tanah mewariskan kutukan. Sejak 1920-an, orang-orang asing datang membawa peta geologi. Juli 1968, PT International Nickel Indonesia (INCO) namanya kala itu, menjadi anak kandung Kontrak Karya Republik. Di atas kertas perjanjian itulah, Vale lahir sebagai anak tambang sekaligus penjaga titipan negara menambang dengan nilai tambah, memurnikan bijih sebelum ia menyeberangi samudra. Sorowako jadi saksi, sejak 1977 pabrik peleburan berdiri, peresmian yang dihadiri Soeharto sebagai Presiden. Dari sana, nama INCO bertransformasi jadi PT Vale Indonesia Tbk, mengubah struktur pemilik, tetapi tak gentar menagih tanggung jawab, nikel harus jadi emas hijau, bukan luka basah di lereng hutan.

Kini, Vale menancapkan tonggak baru di Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara. Nama proyeknya Indonesia Growth Project (IGP) Pomalaa. Di sini, Vale menggandeng Zhejiang Huayou Cobalt Co., Ltd. Mereka bersekutu membangun pabrik HPAL (High Pressure Acid Leach) berbiaya US$ 4,5 miliar, mimpi besar yang ditanam di Bumi Mekongga. Targetnya, 120 ribu ton nikel dan 15 ribu ton kobalt per tahun, bahan baku baterai kendaraan listrik yang kian mendominasi jalan raya masa depan. Vale tidak datang sendirian. Konon moga terus menjadi nyata, ia membangun, merekrut, mendidik. Hingga pertengahan 2025, lebih dari 3.600 orang bekerja di Pomalaa. Dari jumlah itu, 2.389 anak Kolaka sendiri, anak kampung yang disulap jadi operator alat berat, teknisi las, juru listrik, hingga petani organik yang tanahnya dibersamai pengetahuan baru. Ada Sriati, 25 tahun, perempuan tangguh dari Puuroda, Baula. Dulu hanya gadis desa, kini operator ekskavator di Petrosea, mitra Vale. Satu nama di antara ribuan. Kami patuh pada regulasi nasional dan ILO, termasuk ramah pada gender. Immanuel Ebenezer, orang-orang biasa memanggil saya Noel bertemu manajer HRD Vale, perempuan cerdas bernama Ildha Mawarni N, di Pendopo Bupati Kolaka. Sebagai Senior HR Project Coordinator. Ildha, namanya sederhana, posturnya tak hendak menantang siapa pun, tapi sungguh, siapa pun yang menganggap HRD itu cuma polisi absen karyawan, orang upahan bos, atau tukang kirim surat PHK, pasti akan terheran jika duduk di seberang meja Ildha. Ia punya satu hal yang sudah makin langka, integritas. Bagaimana sorot matanya menolak mentah-mentah kompromi pada pelecehan seksual di ruang kerja. Di kantor, di tambang, di pabrik, di ruang-ruang rapat di mana suara perempuan kerap dilunakkan oleh ketakutan, Ildha malah menajamkannya. Ia menolak tunduk. Bukan itu saja. Perempuan ini, manajer HRD satu ini, merangkul kawan-kawan disabilitas tanpa banyak gembar-gembor. Ia tidak menjadikan inklusi sekadar poster di lobi kantor. Ia menyiapkan kursi, jalan masuk, dan yang lebih penting, ruang setara di hati para buruh. Noel, begitu orang-orang biasa berteriak memanggil merasa bersyukur punya kawan seperjuangan sekeras dan secerah Ildha. “Dua Surat Edaran yang kami terbitkan, soal perlindungan pekerja dari pelecehan dan penegasan hak disabilitas, ia peluk sebagai tanggung jawab. Tidak banyak HRD yang begitu. Biasanya cuma tanda tangan di notulen rapat, lalu hilang ditelan kesibukan bulanan” ujar Noel dengan senyum bahagia bila mendengar perusahan yang patuh untuk perlindungan buruh. Saya percaya bahwa jika satu Ildha saja bisa menyalakan api begini, apalagi jika HRD di ribuan perusahaan menyalakan semangat serupa. Suara yang lahir dari keyakinan bahwa buruh, siapa pun dia, berhak pulang kerja tanpa takut disentuh tanpa izin.

Bahwa yang cacat bukan kawan difabel kita, tetapi sistem dan pola pikir yang membatasi mereka. Noel, yang kadang keras, kadang konyol, tapi selalu jujur di jalan pekerja, mencatat hari ini di dada saya, bahwa Indonesia Maju, Indonesia Emas, Indonesia Terang bukan sekadar mimpi papan iklan. Asal di barisan belakangnya, di antara HRD, buruh, manajer, dan birokrat, tumbuh orang-orang yang berani bertahan menolak pelecehan, merangkul kawan disabilitas, dan berdiri di jalan diversitas ekonomi dan inklusi yang sejati.

Ildha menegaskan sepakat, ratifikasi Konvensi ILO tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja bukan lagi cuma angka di map rapat, tapi nyawa di urat nadi gerakan buruh kita. Dan saya berharap, satu persatu, di tempat lain, Ildha-Ildha baru lahir lagi. Semoga, malam yang pelan, di antara doa para buruh dan senyum HRD yang lurus jalannya. Dalam satu barisan, Vale menulis babak tanggung jawab sosial, beasiswa untuk 70 mahasiswa Universitas Sembilanbelas November Kolaka, simulator alat berat senilai Rp 1,2 miliar untuk BLK Kolaka, pelatihan keselamatan dasar untuk 1.302 peserta, pelatihan operator untuk 357 peserta, welder dan electrical untuk puluhan anak muda, serta program PPM yang tidak sekadar basa-basi CSR pertanian organik, pelatihan herbal, operasi katarak gratis, sumbangan untuk korban kebakaran, anak yatim, hingga revitalisasi pasar tradisional. Semua dijahit dalam satu kata, keberlanjutan.

Namun, di balik haru data dan laporan CSR, sejarah tak pernah lupa menulis pengingat. Ledakan smelter di Morowali beberapa tahun lalu jadi tamparan yang merobek kesadaran industri ini. tambang tanpa kendali hanyalah penjara bagi anak cucu, racun bagi sungai, dan racik pilu di dada rakyat. Noel, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, dalam setiap sidak dan rapatnya mengingatkan Vale, keselamatan kerja bukan cuma slogan di papan proyek. “Tak boleh ada nyawa hilang di cerobong. Produktivitas tak boleh menindas keselamatan,” katanya suatu hari di depan pekerja Pomalaa. Bupati Kolaka, Hi. Amri, pun menekan, Vale harus menanamkan akar di hati rakyat, bukan hanya di bumi tambang. Pajak daerah, lapangan kerja lokal, serapan talenta desa harus dibuktikan dengan data, bukan sekadar brosur manajemen. Hi. Ahmad Safe’i, tokoh Kolaka, mantan bupati dua periode, kini anggota DPR RI, bahkan lebih keras, “Saya yang dulu meneken izin investor masuk ke Kolaka. Jika kalian tak mampu mensejahterakan rakyat, saya murka. Ini tanggung jawab saya di hadapan rakyat dan bumi Kolaka.”

Maka Pomalaa hari ini ibarat kuncup yang menahan mekar. Di balik lahan 5 hektare nursery yang kelak menumbuhkan sejuta bibit, di balik embung sedimen, tambang saprolit, jalan hauling yang meretas bukit, di balik gedung kontrol operasi, tertulis pertanyaan mampukah tambang modern bertanggung jawab hingga ke akar rumput? Vale menjawab dengan rapat dan rapih. Fasilitas nursery di Pomalaa digandengkan dengan Kebun Raya Kolaka, membangun rantai hijau yang akan menampung kembali debu tambang menjadi nafas daun. Infrastruktur didorong jalan tambang, jembatan, workshop, gedung kontrol. Dari tambang saprolit dan limonit, penambangan hijau dijanjikan jadi barometer industri nikel rendah karbon Nusantara.

Tapi semua cerita ini pada akhirnya akan diuji ketika bijih diangkut, emisi diolah, limbah dijinakkan, bibit ditanam di bekas lubang tambang, dan rakyat menatap tagihan listrik kendaraan listrik di rumah-rumah mereka. Lima puluh lima tahun Vale Indonesia seolah membuka kitab panjang bahwa menambang di Indonesia bukan hanya soal untung dan rugi. Ini soal tanah leluhur, soal air yang turun ke sawah, soal orang tua yang ingin anaknya sarjana, bukan buruh tambang selamanya. Soal tambang yang tak lagi jadi kutukan, melainkan berkah yang meninggalkan warisan hijau. Maka biarlah nikel menyeberang benua, baterai menjelma mobil, dan Kolaka menjadi catatan, di sini logam diselipkan doa, agar bumi tetap hijau, agar tambang tidak berujung nyawa yang tergeletak di tanah merah. Investor datang dengan proposal karbon netral, tailing recycling, dan janji “sungai tetap jernih”. Namun, di Tambea, sawah berubah warna. Di Mandonga, air sumur keruh. Di Bungkutoko, nelayan kehilangan tangkapan. Rakyat kehilangan sawah, tetapi belum punya saham.

Saksi sungai yang meredup, menjadi pengetahuan di warung kopi. Apa kata dashboard CSR? “Zero incident. 100% compliance.” Apa kata warung kopi Mandonga? “Pak, sumur di kampung saya bau besi. Anak gatal, air asin. Pit makin luas, pungli makin banyak.” Sahabat saya, Prof. Robertus Robet menulis, Ekosipasi = emansipasi ekologis + revolusi pengetahuan rakyat. Epistemologi sungai tidak lahir dari kantor AMDAL, melainkan dari mulut buruh borongan, status Facebook istri buruh, dan video TikTok sopir dum truck. Inilah jurnal lumpur yang tak diajarkan di kursus sertifikasi tambang. Di Mandonga, buruh menyatakan “Sumpah Air dan Besi.” Isinya curhatan upah, pungli rekrutmen TKA, dan keluhan air keruh. Negara kadang hadir di rapat MoU investor, tetapi absen di teras rumah rakyat yang menggali sumur kering.

Political Ecology, Siapa yang Untung? Siapa yang Tanggung?
Blaikie dan Brookfield (1987), Degradasi bukan bencana alam, tapi lahir dari konflik kuasa.
Immanuel Wallerstein (1974), Dunia core-semi periphery-periphery. Indonesia tetap periphery. Bahan mentah ke core. Profit dipetik di bursa saham global. Hilirisasi smelter Morosi, Pomalaa, Weda Bay, adalah buku teks world system theory yang diperagakan di tanah orang Tolaki, Ore mentah diambil, smelter hanya semi finished product, green label di cap Eropa, royalty tercatat di PNBP pusat. Rakyat di pinggir tailing tetap menunggu ganti rugi sawah yang lama.

Jalan tengah bagi Pit, kebun dan sungai, “Tanah adalah pusaka. Air adalah lidah bumi. Siapa merusak, menanggung saksi di Mahsyar.” Harusnya, hulu rakyat mendapat 20% saham tambang milik koperasi desa, mendapatkan royalty blockchain, 30% royalty ke Dana Desa, transparan, tanpa pungli. Mencipatkan Smelter Hijau, 50% energi PLTS, tailings recycling, Net Zero 2035. Selain itu untuk adanya Citizen Audit, Komite audit rakyat, sensor IoT terbuka publik. Maka lakukan Reklamasi Spiritual, Pit ditutup kebun rakyat, sungai dipulihkan untuk ziarah. Sebagai sumpah air dan besi menjadi do’a di pinggir Pit. “Lubang di tanah adalah lubang di dada rakyat, Air keruh pun membawa hikmah, bila engkau sabar membersihkan.” Sumpah Air dan Besi Kolaka, “Sungai akan kembali jernih, Pit akan jadi kebun rakyat, Royalty akan membiayai sakit warga dan sekolah anak kampung, Smelter hanya boleh hidup jika air hidup. Hari ini pit Pomalaa makin luas. Velddagboek makin kuno. Namun epistemologi rakyat makin tajam mereka melek arsip, melek pungli, melek sungai. Rakyat tidak anti pit. Rakyat hanya ingin pit punya penutup dan air punya ayat suci. Kolaka tidak butuh janji. Kolaka butuh, Jalan Tengah Modal dan Sawah. Jalan Tengah Pit dan Sungai. Jalan Tengah kata dan adab.

Wamenaker antara Ijazah, Usia kerja dan Kutukan SDA
Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, bicara lugas dalam kunjungan ke Kolaka (16 Juni 2025). Di depan jajaran manajer HR Antam, IPIP, Vale dan Ceria,“Penahanan ijazah itu tidak ada toleransi, titik. Surat Edaran sudah keluar, pelanggaran pidana. Sama halnya batas umur, saya perintahkan perusahaan di Kolaka, Morosi, dan Konawe, jangan lagi tulis syarat ‘maksimal usia.” Kolaka ini kaya raya. Kaya bijih nikel, kaya sungai, kaya sawah. Kalau tidak dikelola dengan untuk kesejahteraan rakyat Kolaka juga buruh dalam peneggakan norma ketenagakerjaan, K3, dan pemenuhan hak buruh maka Kolaka hanya akan jadi Kutukan Sumber Daya Alam, bukan berkah SDA.” Dalam catatan resmi Kemenaker (Lampiran Kunjungan UBPN Kolaka 16 Juni 2025), Immanuel menegaskan audit penuh kepatuhan Norma Kerja, K3, dan sistem pembayaran upah. Tidak boleh lagi buruh borongan dilepas tanpa BPJS Ketenagakerjaan. Tidak boleh lagi buruh rekrut via pungli jalur mandor. Demikian juga kata Hi. Amri, Bupati muda Kolaka, bicara tanpa podium tinggi, penyerapan tenaga kerja local. Beliau meneken Perda nomor 19 tahun 2024 Penyerapan Tenaga Kerja Lokal. Bunyinya keras, 70% tenaga kerja proyek tambang wajib warga Kolaka. “Tenaga kerja di Kolaka ini harus diberdayakan, jika tidak, saya bersama masyarakat akan turun langsung mempertanyakan ini. Komitmen pemerintah daerah, tidak ada tawar menawar terkait isu tenaga kerja lokal,” tegasnya. Yang akal-akalan lewat vendor titipan, blacklist kontraktor. Juga soal membayar pajak, “Hasil tambang ini bukan hanya untuk smelter dan bursa Shanghai. Pajaknya harus masuk kas daerah. Jangan main bypass ke pusat semua. Pajak daerah artinya jalan kampung bagus, sekolah gratis, beasiswa anak sekolah. Bukan hanya sakit, bahkan apabila ada warga yang masuk rumah sakit dibiayai juga pendamping si sakit ketika dirawat, Ini harga mati!”. Hal ini di juga di tegaskan oleh “Ayah Kolaka” di depan rakyat dan bumi, Hi. Ahmad Safei, bagi orang Kolaka ia “ayah” yang pernah meneken perjanjian awal dengan investor tambang. Kini ia duduk di DPR RI Komisi IX, mengawasi Ketenagakerjaan dan perlindungan buruh dari Senayan. Di hadapan kami, beliau bergetar “Saya yang pertama meneken lampu hijau izin investor masuk ke Kolaka. Kalau kalian gagal mensejahterakan rakyat Kolaka, saya murka. Murka di hadapan rakyat. Murka di hadapan bumi.”

Rakyat Membaca Peta, Bukan Sekadar Data
Robertus Robet, profesor ekosipasi pernah menulis,“Emansipasi ekologis tidak cukup bicara di ruang seminar. Ia harus hidup di teras rumah dan warung kopi.” Di Kolaka, epistemologi rakyat lahir dari overlay peta Velddagboek Belanda dengan blok IUP modern. Masyarakat Tambea memindai batas adat dengan GPS. Komite Adat mencatat jalur sungai pusaka yang kini jadi alur tailing. Warung kopi Mandonga jadi markas sumpah air dan besi, sekelompok buruh, nelayan, dan aktivis lokal yang memegang sensor kualitas air, bukan hanya sertifikat AMDAL. Mereka adalah penjaga sungai yang berbisik. Air keruh, pit makin dalam, suara rakyat makin keras, lubang di tanah adalah lubang di dada rakyat, Air keruh akan jernih bila engkau sabar membersihkan, sabar menulis, Tanah pusaka, sungai pusaka, amanah iman dan akal.“Tanah adat adalah kitab. Sungai adalah kalam Tuhan. Siapa menulis di atasnya dengan dusta, kelak menanggung saksi di hadapan Allah, Sejarah tidak pernah mati. Yang mati hanyalah bangsa yang lupa menulisnya.”Maka sungai Kolaka tidak akan mati. Pit akan tertutup kebun. Smelter akan patuh atau pergi.“Tanah air harus dibela dengan kata-kata, meski kata-kata itu disuap lumpur, Air keruh pun mendidik sabar, sabar mendidik pencerahan, Tanah adat adalah amanah iman dan akal.” Pit boleh dalam, tetapi kata rakyat lebih dalam. Pit boleh hilang, tetapi sungai harus tetap hidup.

Doa Sumpah Air, Besi, dan Sungai
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ya Tuhan,
Engkau hamparkan bumi ini untuk kami tanami,
Engkau alirkan sungai untuk kami minum,
Engkau tanamkan bijih besi di rahim tanah
agar manusia bijak menempanya jadi pamor, bukan jadi luka.
Ampuni kami bila tangan kami serakah
menyedot nikel tanpa adab,
menjual air sungai demi tailing,
menutup sawah dengan pit yang kami sebut tambang.

Ya Tuhan,
Jadikan murka ayah Kolaka, Hi. Ahmad Safei sebagai murka yang Engkau Rahmati.
Agar tanah ini sejahtera, agar rakyat ini kuat berdiri di hadapan kapital tamak.
Teguhkan lidah Bupati muda Hi. Amri agar Perda Penyerapan Tenaga Kerja Lokal jadi perisai,
agar pajak pit jadi jalan kampung dan beasiswa anak petani.
Lindungi lisan Wakil Menteri Immanuel Ebenezer agar kolaka bukan menjadi kutukan sumber daya alam tapi keberkatan bagi semua mahluk yang ada di bumi Kolaka. SE Penahanan Ijazah dan Larangan Batas Usia, perlindungan, pemenenuhan hak-hak dan kesejahteraan buruh bukan sekadar kertas, tetapi pedang keadilan di kantor tambang dan tenda buruh borongan.

Ya Tuhan,
Berilah kekuatan pada sungai Watubangga, Lawulo, Konaweha
biarkan ia tetap mengalir membawa sabda-Mu,
membersihkan lumpur kebodohan kami,
“Air keruh akan jernih bila sabar kau jaga.”
Izinkan pit yang dalam itu kami tutup dengan kebun pala, cengkih, dan damar.
“Tanah air harus dibela dengan kata, meski lumpur menutup mulutmu.”

Ya Tuhan,
Tuntun anak-anak Kolaka, generasi overlay peta
agar mereka belajar menggenggam teknologi tanpa lupa sungai yang meneteskan darah leluhur.
Jangan jadikan Kolaka kutukan SDA.
Jadikan Kolaka teladan Ekosipasi
rakyat melek arsip, rakyat pegang peta, rakyat audit pit, rakyat menulis sungai.
Rabbi,

Tulis di Lauhul Mahfuz
Pit boleh dalam,
Tapi iman rakyat Kolaka lebih dalam.
Pit boleh hilang,
Tapi sungai tetap hidup,
Air tetap ayat,
Besi tetap pamor,
Dan rakyat tetap Engkau jaga dalam ridho dan rahmat-Mu.
Amin. Amin. Amin. Ya Rabbal ‘Ālamīn.

MOHON MAAF,
Dalam tiap huruf yang tersusun di tulisan ini, dalam tiap kata yang meluncur dari jemari saya, ada kemungkinan khilaf, tergelincir tanda baca, keliru ejaan, dan kekurangan data. Saya, penulis, sadar betul bahwa sempurna hanyalah angan, dan yang tinggal di dunia fana adalah upaya yang terus dibasuh keringat dan koreksi.  Maka izinkan saya memohon maaf yang setulus-tulusnya. Atas salah ketik, atas kalimat yang kurang padat makna, atas data yang barangkali perlu dipertajam kembali. Tulisan ini adalah jalan terbuka jalan di mana saya berjalan bersama pembaca, bukan di depan, bukan di belakang, tetapi di samping, saling menuntun, saling mengingatkan, “saya tidak pandai setinggi langit, tapi menulis mendalami pit dan ore kemanusiaan yang bernurani, agar tidak hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Tetapi saya percaya, bahkan penulis pun butuh pembaca yang berani mengoreksi. Butuh teman diskusi, lawan bicara, musuh debat yang jujur.

Dalam deru diskusi yang sehat, kritik adalah tangan Tuhan yang membetulkan arah. Semakin banyak yang mengkritik, semakin besar ruang kita untuk merangkai perbaikan. Ini bukan hanya untuk saya, atau untuk Anda, tetapi untuk satu tujuan luhur kemajuan umat manusia agar anak cucu nanti dapat membaca jejak kita sebagai bangsa yang mau belajar, mau salah, mau disalahkan, dan mau membenahi. “Kesalahanmu bukan dosamu, jika kau belajar darinya. Sungguh, tiap goresan luka adalah pintu terbuka menuju cahaya.” Mari terus bertukar pikiran. Mari saling membasuh kekeliruan. Mari menulis, menulis lagi, menulis sampai jari dan kata-kata habis agar sejarah tahu kita pernah hidup dan pernah mencoba membenahi apa yang bisa kita benahi. Tabik Pun…
Gatsu5.***

Source: Arief Mulyadin
Tags: Dalam Dada RakyatDalam Perut BesiKOLAKAPitSungai
ShareTweetSendShare
Previous Post

Supendi Resmi Dilantik Jadi Pj Kepala Desa Bangunan, Camat Tekankan Kepemimpinan Kolaboratif

Next Post

Cegah Kejahatan Malam Hari, Satlantas Polres Pesawaran Intensifkan Patroli Blue Light di Jalur Strategis

Next Post
Cegah Kejahatan Malam Hari, Satlantas Polres Pesawaran Intensifkan Patroli Blue Light di Jalur Strategis

Cegah Kejahatan Malam Hari, Satlantas Polres Pesawaran Intensifkan Patroli Blue Light di Jalur Strategis

Gubernur Lampung Akan Kukuhkan Ikatan Jurnalis Pemprov, Perkuat Sinergi Pers dan Pemerintah

Gubernur Lampung Akan Kukuhkan Ikatan Jurnalis Pemprov, Perkuat Sinergi Pers dan Pemerintah

Lanal Lampung dan Pemkab Tanggamus Gelar Panen Raya Ikan Nila, Wujud Sinergi Dukung Ketahanan Pangan Daerah

Lanal Lampung dan Pemkab Tanggamus Gelar Panen Raya Ikan Nila, Wujud Sinergi Dukung Ketahanan Pangan Daerah

Permudah Layanan Adminduk, Bupati Pringsewu Resmikan Aplikasi SEWUATI Versi 2.0

Permudah Layanan Adminduk, Bupati Pringsewu Resmikan Aplikasi SEWUATI Versi 2.0

Pelantikan Sekda Lampung Selatan Digelar di TMP, Ketua DPRD: Jabatan Adalah Amanah dan Pengabdian

Pelantikan Sekda Lampung Selatan Digelar di TMP, Ketua DPRD: Jabatan Adalah Amanah dan Pengabdian

No Result
View All Result

Berita Terbaru

Dari Pabrik Kecil ke Program Nasional: Tempe Sehat Sutikno Siap Dukung Makan Bergizi Gratis di Bandar Lampung

Dari Pabrik Kecil ke Program Nasional: Tempe Sehat Sutikno Siap Dukung Makan Bergizi Gratis di Bandar Lampung

01/07/2025
Sinergi Tanpa Sekat: Danbrigif 4 Mar/BS dan Ibu Hadiri HUT Bhayangkara ke-79 di Polda Lampung

Sinergi Tanpa Sekat: Danbrigif 4 Mar/BS dan Ibu Hadiri HUT Bhayangkara ke-79 di Polda Lampung

01/07/2025
Akhiri Pengabdian, Pemprov Lampung Beri Penghormatan kepada Kadis Lingkungan Hidup Emilia Kusumawati

Akhiri Pengabdian, Pemprov Lampung Beri Penghormatan kepada Kadis Lingkungan Hidup Emilia Kusumawati

01/07/2025
Bupati Lampung Utara Tegaskan: Tak Ada Titipan, Tak Ada Pungli dalam Penerimaan Siswa Baru

Bupati Lampung Utara Tegaskan: Tak Ada Titipan, Tak Ada Pungli dalam Penerimaan Siswa Baru

01/07/2025
Kapolda Lampung Ajak Masyarakat Kawal dan Kritik Polri: Bukti Cinta, Bukan Cela

Kapolda Lampung Ajak Masyarakat Kawal dan Kritik Polri: Bukti Cinta, Bukan Cela

01/07/2025
Saibetik.com

Saibetik.com bisa berkontribusi untuk pembangunan daerah, peningkatan ekonomi kerakyatan, mengajak masyarakat hidup sehat. Dengan membaca saibetik bisa lebih smart, trendy dan gaul.

  • Redaksi
  • Tentang Kami

© 2024 Saibetik.com - All Right Reserved

No Result
View All Result
  • BERANDA
  • POLITIK
  • LAMPUNG
    • Bandar lampung
    • Lampung Barat
    • lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
    • Way Kanan
  • NASIONAL
  • HUKUM & KRIMINAL
  • BISNIS DAN KEUANGAN

© 2024 Saibetik.com - All Right Reserved