Isbedy Stiawan ZS
SAIBETIK– Ratusan pelayat dari berbagai penjuru Lampung memadati rumah duka Bachtiar Basri, Jumat (16/5/2025), mengiringi kepergian tokoh serba bisa itu ke peristirahatan terakhirnya. Di antara mereka, tampak Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal, Bupati Lampung Utara Hamartoni Ahadis, serta sederet tokoh politik dan budaya lainnya. Jenazah almarhum dimakamkan seusai salat Jumat, dilepas langsung oleh Gubernur.
Bachtiar Basri, mantan Wakil Gubernur Lampung periode 2014–2019, wafat pada Kamis sore, 15 Mei 2025, di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung. Namun bagi banyak orang, ia lebih dari sekadar pejabat. Ia adalah seniman yang mengguratkan warna dalam kehidupan, melalui kanvas dan cita rasa estetik yang dalam.
Birokrat, Politisi, dan Seniman
Nama Bachtiar dikenal luas sebagai birokrat dan politisi, bahkan pernah memimpin PAN Lampung. Tapi banyak yang tak tahu, ia juga pelukis yang tekun. Karyanya dikoleksi sejumlah tokoh, termasuk mantan Wakil Bupati Tulang Bawang Barat, Fauzi Hasan.
Saya mengenalnya secara pribadi, sebagai sahabat seperjalanan di jalur seni. Ia dengan lukisannya, saya dengan puisi dan cerpen. Perkenalan kami dimulai sejak ia menjabat Sekda di Lampung Utara dan kian akrab saat memimpin Tulang Bawang Barat. Ia bahkan pernah membantu penerbitan buku cerpen saya, Perempuan di Rumah Panggung, yang kemudian menembus 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa.
Kedekatan itu terus berlanjut, bahkan ketika ia menjabat Wagub. Ia memfasilitasi sekretariat Lamban Sastra, termasuk meminjamkan rumahnya di Tanjung Senang sebagai tempat berkarya. Dukungan itu tak hanya simbolis, melainkan nyata dan penuh empati.
Melukis di Tengah Kesunyian
Usai tak lagi menjabat, Bachtiar justru lebih produktif. Ia mencurahkan waktu untuk melukis, meski tetap aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Kreativitasnya tak pernah padam. Ajudannya sempat bercerita: sang mantan wagub sering membeli kanvas dan cat, diam-diam tetap menggurat di ruang studionya.
Diperkirakan, ratusan lukisan ia hasilkan. Beberapa menghiasi rumahnya di Tanjung Senang, Kotabumi, dan studio pribadinya. Lima di antaranya dihibahkan ke Universitas Muhammadiyah Kotabumi—warisan tak ternilai bagi dunia seni rupa Lampung.
Tak hanya itu, lukisannya juga menjadi sampul buku puisi dan prosa karya saya maupun sastrawan lain. Ia bukan sekadar pelukis, tapi juga kolektor puisi dan pembaca yang apresiatif. Kadang, dalam pertemuan kami, ia membacakan puisi saya dengan penuh penghayatan—balasan bagi pujian saya atas lukisan-lukisan ekspresif-impresionisnya.
Pertemuan Terakhir dan Niat Pameran Tunggal
14 April 2025 menjadi momen terakhir saya bersua dengannya. Dalam suasana Lebaran, kami berbincang panjang di kediamannya di Tanjung Senang. Ia mengungkapkan rencana besar: pameran tunggal di luar Lampung. “Jakarta atau Bandung,” katanya, berharap karya-karyanya bisa menjangkau publik yang lebih luas.
Ia merasa saatnya telah tiba. Jumlah dan mutu karyanya, menurutnya, sudah cukup untuk menggelar pameran sendiri. Saya setuju. Lukisan-lukisannya memang layak dikoleksi secara nasional, bahkan internasional.
Namun, takdir berkata lain. Niat itu belum terwujud. Bachtiar Basri pergi untuk selamanya, setelah sukses menghantarkan pasangan Rahmat Mirzani Djausal – Jihan Nurlela ke kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung, sebagai Ketua Tim Pemenangan mereka.
Warisan Abadi di Atas Kanvas
Kepergiannya menyisakan duka mendalam, namun juga jejak yang tak mudah dihapus: karya-karya seni yang hidup, bernafas dalam setiap guratan warna dan makna. Pameran tunggal yang ia cita-citakan, rasanya kini menjadi tanggung jawab moral kita untuk mewujudkannya. Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi seniman yang telah mengabdi dalam sunyi dan warna.
Bachtiar Basri bukan hanya tokoh politik. Ia adalah perupa dengan jiwa besar. Ia telah tiada, namun lukisannya tetap bicara.***
