SAIBETIK – InsidePolitik – Wacana pemberian izin pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi dalam revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) memicu kekhawatiran di kalangan DPR. Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian, menilai kebijakan ini dapat mengancam independensi akademik kampus yang seharusnya berfokus mencetak cendekiawan.
“Wacana ini harus dikaji secara mendalam. Kampus sebagai institusi pendidikan tidak boleh terkooptasi oleh kepentingan tertentu,” ujar Lalu.
Meski begitu, ia tidak serta-merta menolak gagasan tersebut. Menurutnya, jika pengelolaan tambang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan mendukung operasional kampus, kebijakan ini bisa dipertimbangkan. Namun, ia menegaskan pentingnya pengawasan ketat agar implementasi kebijakan tetap berpihak pada pendidikan.
Komisi X DPR telah menanyakan rencana ini dalam rapat dengan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Namun, hingga kini, pemerintah belum memberikan respons yang jelas.
Saat ini, DPR sedang merancang aturan yang memungkinkan perguruan tinggi dan UMKM memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Pasal 51A dalam RUU Minerba mengatur bahwa kampus berakreditasi minimal B bisa mendapatkan WIUP dengan pertimbangan tertentu.
Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Salah satu penolakan datang dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid. Ia menegaskan bahwa perguruan tinggi seharusnya tetap menjadi pusat keilmuan yang netral, bukan terlibat dalam industri ekstraktif yang berisiko menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan.
“UII menolak gagasan pemberian izin pertambangan ke kampus. Ini berpotensi merusak integritas akademik,” tegas Fathul.
Dengan beragam pandangan yang muncul, perdebatan mengenai kebijakan ini masih terus berlanjut. Pemerintah dan DPR diharapkan dapat memastikan bahwa keputusan yang diambil tetap berorientasi pada kepentingan pendidikan dan keberlanjutan berlangsung.