SAIBETIK– Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan tanggapan terhadap pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, yang menyebutkan bahwa koruptor bisa diampuni melalui mekanisme denda damai. Wacana ini memicu perdebatan mengenai perlunya regulasi yang lebih jelas untuk mencegah penafsiran yang keliru.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Ahmad Irawan, menyatakan bahwa meskipun wacana tersebut tidak sepenuhnya salah, peraturan yang lebih tegas dan jelas harus segera disusun agar tidak menimbulkan interpretasi yang bertentangan dengan hukum yang ada.
“Wacana yang disampaikan oleh Menkum tidak salah karena memang ada ruang untuk penafsiran dalam normanya. Namun, perlu adanya klarifikasi dan revisi undang-undang agar lebih jelas dan tidak menyalahi ketentuan,” ujar Irawan.
Denda Damai dalam Tindak Pidana Ekonomi
Denda damai merupakan solusi penyelesaian perkara di luar pengadilan, di mana pelaku tindak pidana membayar sejumlah uang yang disetujui oleh Jaksa Agung. Mekanisme ini diharapkan dapat mengatasi tindak pidana yang merugikan negara, khususnya dalam ranah ekonomi.
Irawan menegaskan bahwa Jaksa Agung memang memiliki wewenang untuk menggunakan denda damai (schikking), namun hal ini hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa Jaksa Agung berhak menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara, dan dapat menerapkan denda damai sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Meskipun demikian, penerapan denda damai ini hanya berlaku untuk tindak pidana ekonomi, seperti perpajakan, kepabeanan, atau tindak pidana ekonomi lainnya.
Restorative Justice dan Upaya Pemulihan Kerugian Negara
Denda damai dalam konteks ini juga dikategorikan sebagai bagian dari konsep restorative justice, yakni upaya untuk memulihkan kerugian ekonomi negara. Dikenal juga dengan istilah fiscal recovery, mekanisme ini bertujuan untuk mengganti kerugian negara tanpa melibatkan proses pengadilan yang panjang.
Irawan, yang juga Wasekjen Golkar, mengingatkan bahwa dalam membaca undang-undang, kata-kata yang digunakan harus diperhatikan dengan seksama untuk menghindari interpretasi yang salah. Menurutnya, penting untuk menjawab pertanyaan berikut: Apakah denda damai dalam tindak pidana ekonomi bisa berlaku juga untuk tindak pidana korupsi yang merugikan perekonomian negara?
Perlunya Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Irawan mencontohkan kasus Harvey Moeis, yang dianggap merugikan perekonomian negara dan dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi. Ia juga mengingatkan bahwa sejumlah tindak pidana seperti yang terjadi di sektor lingkungan hidup, kehutanan, perikanan, migas, pertambangan, dan perdagangan juga termasuk dalam kategori yang dapat merugikan negara.
Oleh karena itu, Irawan menilai bahwa perlu ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR untuk segera merevisi undang-undang tindak pidana korupsi, mengingat kebijakan hukum yang semakin menitikberatkan pada pemulihan aset dan kerugian negara. Hal ini sejalan dengan arah politik hukum Presiden Prabowo Subianto yang lebih fokus pada pemulihan aset melalui asset/fiscal recovery.
“Pemerintah dan DPR harus memperjelas dan merinci kewenangan Jaksa Agung, baik berdasarkan prinsip dominus litis maupun prinsip oportunitas, termasuk penerapan denda damai yang bisa dieksekusi langsung oleh Jaksa Agung,” pungkas Irawan.***